"And of His signs is that He created for you from yourselves mates that you may find tranquillity in them; and He placed between you affection and mercy. Indeed in that are signs for a people who give thought."
(Q.S. Ar-Rum: 21)
“Mas dimana?”
“Di kantor, jadi ke Plaza Festival?”
“Jadi kok, aku udah di sini sama pacarku. Aku tunggu ya,”
Dan telepon pun terputus. Mas Faris sampai di Plaza Festival
beberapa jam kemudian, dengan beberapa lembar dokumen dalam satu map, ia
kemudian menyodorkan pulpen. “Tanda tangan di sini, sini, dan sini. Maaf gak
bisa lama, mau pulang,”.
Aku tersenyum dan menurutinya. Setelah tanda tangan, Mas Faris
pulang. Aku dan pacarku lalu karaokean bersama teman-teman. Kami begadang
hingga tengah malam. Dengan wajah agak pucat, mungkin kelelahan, Mas Faris
menyetop taksi dan pulang menuju kosan. Saat itu, waktu menunjukkan pukul
sepuluh malam, dan Mas Faris masih semangat membantu mengurus Akta Yayasan. Ia
begitu baik, tanpa pamrih. Ia selalu mendatangi kami, bahkan hanya untuk sebuah
tanda tangan. Kami tak pernah membayarnya. Aku selalu merasa beruntung memiliki
dia dalam organisasi.
Beberapa bulan berlalu, setelah Akta Yayasan jadi, aku
jarang mendengar kabarnya. Biasanya, kami sering janjian untuk rapat organisasi,
jalan-jalan, maupun bersenang-senang. Akhir-akhir ini, ia tampak menghilang. Rindu,
mungkin. Karena kami sama-sama di perantauan. Aku dan Mas Faris juga berasal
dari kampung halaman yang sama, Jombang, Jawa Timur. Perkenalan beberapa tahun
lalu sewaktu SSC memperingati “Hari Anak” menjadi awal mulanya. Kami terkejut,
mengetahui berasal dari kampung yang sama. Tapi, ia banyak menghabiskan waktu
di Malang, kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang, dan aku tumbuh-besar di
Surabaya. Jombang, menjadi kota yang kami rindukan. Sejak saat itu, aku
menganggapnya sebagai kakak.
***
“Mas, sehat?”
“Sehat kok. Kenapa Dek?”
“Nggak, kok jarang ada kabar. Nonton yuk..”
“Walah, aku sekarang tinggal di Malang”
Bak disambar petir di siang bolong, aku terkejut. Bagaimana
bisa dia pindah tanpa pamit? Padahal, kami begitu dekat, kenapa dia tak cerita? Mas Faris lalu
menjelaskan bahwa kepindahannya tanpa pamit memiliki alasan, salah satunya, ia
tak ingin berat berpisah dengan teman-teman di organisasi. Aku mencoba mengerti,
meski sedih hati. Aku telah kehilangan sosok kakak yang membuatku nyaman. Bahkan,
ada banyak hal yang tidak kuceritakan pada sahabat, maupun, pacar, tapi aku
merasa nyaman cerita pada Mas Faris. Sosoknya yang teduh dan penuh wibawa,
membuatku percaya bahwa dia amanah dan menyenangakan. Melihatnya, seperti
melihat kegigihan adikku, dan kelembutan serta ketegasan Bapakku. Aku begitu
menghormatinya. Mungkin, memang inilah ciri khas Laki-laki Jombang. Entah
mengapa, aku merasa sangat nyaman.
***
Beberapa bulan sejak kepindahan Mas Faris, aku
sudah melupakannya. Fokusku ke orang lain beralih ke diri sendiri. Aku memiliki banyak hal yang harus diurus,
terutama semenjak putus dengan pacar terakhir. Kami sempat merencanakan
untuk menikah, tapi takdir berkata lain. Akhirnya, aku sibuk menata diri
kembali. Sedih dan putus asa sempat menghampiri, namun, karena kasih sayang
Allah dan kelembutan serta dukungan sahabat-sahabat dekat, aku bisa tegar dan
bangkit kembali. Sejak saat itu, aku tak ingin pacaran lagi. Aku memutuskan
untuk mencari suami. Meski banyak yang menghampiri, aku bergeming. Aku tidak
ingin lagi main-main, kemudian, aku semakin mendekatkan diri pada Illahi,
meminta perlindunganNya supaya tak lagi tergoda. Supaya aku semakin matang dan
dewasa. Akhirnya, aku meminta salah seorang sahabat terpercaya untuk
membimbingku, secara emosional dan spiritual. Aku pun disarankan untuk membuka
hati lewat proses taaruf. Beberapa orang sempat singgah dan aku jajaki, namun,
ternyata kami belum berjodoh. Berbagai profesi, status sosial, umur dan tingkat
ketampanan tidak menjadi tolok ukur. Semuanya kuserahkan pada Allah. Sebelum
memutuskan apapun, aku selalu Istikharah. Namun sayang, gagal. Aku tidak juga
diyakinkan oleh pilihan-pilihan yang datang.
Sebetulnya, episode hidupku akhir-akhir bukan hanya mencari
jodoh, tapi juga menemukan jati diri. Semakin tenggelam dalam rutinitas dan
kebisingan Jakarta, semakin kering kerontang hati dan jiwa. Aku merasa
tersesat. Aku merasa ada sesuatu yang hilang. Setelah memperbanyak dzikir dan
doa-doa, akhirnya aku merasa tenang. Lalu, pada suatu ketika di Bulan Ramadhan, alhamdulillah, aku
mendapat hidayah.
Aku pun hijrah.
Aku hijrah secara spiritual dan sosial. Aku kembali
mengenakan hijab, aku juga kembali ke Surabaya. Aku kemudian membatasi diri
dari pergaulan-pergaulan seperti sebelumnya. Sedikit demi sedikit, aku mulai
meninggalkan kebiasaan lama.
***
“Mas, sehat? Rumah mas dimana sih?”
“Sehat alhamdulillah. Di Perak, dek, kenapa?”
“Main yuk! Aku juga lagi di rumah Mbah,”
Beberapa hari sebelum lebaran, aku dan Mas Faris kembali
bertemu di kota kerinduan, Jombang. Sudah lama rasanya aku menginginkan untuk
datang ke kota ini. Ngopi sambil makan bakso di alun-alun ditemani lampu
temaram. Duduk-duduk merasakan angin malam hingga kepala pusing, kadang juga
kehujanan. Ah. Rindu rasanya.
Aku tak mau melewatkan kerinduan ini sendirian, reuni harus
terjadi! Aku harus mengajak Mas Faris, teman satu organisasi dan memamerkan
kebersamaan kami ke teman-teman di Jakarta supaya bisa ikut menyusul ke Jawa Timur.
Malam itu juga, aku mengajak adik dan tanteku ke Alun-alun, aku juga mengajak Mas
Faris untuk ketemuan di sana.
“Assalamualaikum, Mas! Alhamdulillah, bisa ketemu.. Aaaa
kangen!”
Kami bersalaman, melepas rindu sambil memesan dua cangkir
kopi panas. Malam itu, cuaca di Jombang sedang dingin, gerimis juga kadang datang. Tapi
kami tetap tak ingin membatalkan jadwal. Rupanya, aku baru sadar, itu adalah
kali pertama Mas Faris melihatku mengenakan hijab. Awal mula berhijab, aku
memasang foto di Whats App, dan ia berkomentar standar, “cantik,” katanya. Aku
sudah biasa dipuji begitu, bukan hal baru. Tapi, setelah malam itu. Pujian
darinya begitu berbeda. Pujiannya menggetarkan hatiku. Ada apa sebenarnya?
“Kalau aku mampu, mending aku yang ‘minta’ dedek ke orang
tua dedek,”
Awal pembicaraan canggung kami dimulai setelah malam itu.
Meski sempat terkena gerimis dan pusing, aku pikir, kali ini pusing di kepalaku
berbeda. Perutku juga agak kram. Jantungku berbedar. Lamat-lamat aku mengamati
tulisan di layar ponsel dengan gejala yang sama. Aku lalu menanyakan maksudnya.
Rupanya, ia ingin melamarku.
APA? IA INGIN MELAMARKU?
SERIUSAN, DIA INGIN MELAMARKU?
“Mas, serius? Becanda ya?”
“Lho, masa yang kayak gini becanda? Ora ilok,”
“Ya Allah!”
Aku kemudian terdiam dalam waktu yang sangat lama.
***
"Nggak mampu gimana, Mas?"
"Ya, aku masih belum punya apa-apa. Hidupku sangat sederhana. Dedek lebih pantas bersanding dengan pria yang lebih mapan,"
Aku bergeming, sambil tersenyum, aku membalas pesan singkatnya.
"InsyaAllah harta bisa dicari, tapi kalau jodoh, anugerah dari langit yang harus dijemput saat ini,"
***
Kecanggungan kami kemudian berlanjut. Setelah pembicaraan
lewat ponsel itu, kami memutuskan untuk istikharah bersama. Aku tak ingin
terburu nafsu dan mengiyakan atau menolak tanpa meminta petunjuk. Beberapa
pertimbangan rasional sudah ada, selanjutnya, tinggal menyerahkan pada Yang
Maha Kuasa.
Aku begitu ingat memori lama saat kami selesai rapat kerja
di Jakarta. Aku, dan beberapa teman perempuan, ditemani Mas Faris, memutuskan
untuk menginap semalam di basecamp, sambil bersih-bersih. Para perempuan tidur
di kamar, Mas Faris di ruang tamu beralaskan tikar. Kami begadang sampai tengah
malam, lalu kelaparan. Mas Faris terlihat masih tidur. Aku dan teman-teman memutuskan
untuk membeli mie goreng di warung depan. Dengan hati-hati, aku membangunkan
Mas Faris. Mungkin saja ia juga ingin makan. Rupanya ia terbangun dan hanya
memesan teh panas. Kami beranjak menuju warung dan makan sampai kenyang.
Sepulang dari warung, kami mendapatinya sedang membaca Al-Quran. Aku begitu
terharu. Belum pernah aku bertemu lelaki di Jakarta yang, setelah solat tahajud,
kemudian membaca Al-Quran. Sempat aku berbisik ke teman-teman,”Lihatlah, kalau
Mas Faris jadi suami, Ia pasti jadi Imam yang baik,”.
***
“Jadi, gimana dek?”
“Aku lapar, mas...”
Proses istikharah kami berdua telah berlangsung, dan baru
kemarin malam, ada petunjuk untuk melangkah lebih jauh lagi. Namun, sebelum menjawab
pertanyannya, aku minta izin untuk memberi hak pada lambung dulu. Hari itu,
kami baru saja menghadiri peringatan setahun SSC Mojokerto. Kami begitu
bahagia. Aku, terutama. Bisa melihat semangat teman-teman dalam memberikan
pelayanan pendidikan pada sesamanya. Ini menjadi penghangat jiwa dan
kemanusiaan. InsyaAllah barokah jika diiringi niat untuk mengabdi di Jalan
Allah.
Kami makan ayam penyet.
Aku ingat, dulu waktu di Jakarta, Mas Faris sering sekali
dimintai teman-teman untuk membelikan eskrim. Kali ini pun sama. Seperti adik
kecilnya, aku meminta dibelikan eskrim. Es itu pun habis sebelum hidangan
disajikan.
Dengan wajah tertunduk, sebelum ia menanyakan lagi, aku
bercerita soal mimpi di solat istikharahku. Mas Faris tampak tersenyum malu-malu.
Ia menatapku lekat-lekat dan bilang, “InsyaAllah aku akan segera melamarmu,”.
Aku pun tersedak lalu mengangguk.
Kami kemudian menghabiskan
es jeruk dan bersiap untuk pulang.
"Gimana, Mbak? Sukses?" Tanya sepupuku, Ninis, setelah aku pulang. Aku mengangguk dan memberitahunya kalau kami akan lamaran.
***
Sebulan berlalu sejak Mas Faris menyatakan kesediaannya
untuk melamarku. Ia kemudian ke rumah dengan keluarga besarnya. Ini sungguh
lucu. Aku menghitung kedatangan Mas Faris ke rumah dalam dua bulan terakhir. Hanya
tiga kali. Aku mengingat-ingat kelakuan saat remaja dulu, bolak-balik ke rumah pacar, bolak-balik jalan berdua,
bolak-balik putus cinta. Kali ini, aku akan menikahi orang yang bahkan belum
pernah menjadi pacar sebelumnya.
Kedatangan Mas Faris yang pertama, adalah ketika dia
mengantarkanku setelah dari Malang, kebetulan aku silaturahim ke teman-teman
SSC Malang. Kedatangan Mas Faris yang kedua, adalah ketika Mas menjemputku di
stasiun saat tengah malam, setelah aku melancarkan proyek #JadwalKelanaShei
keliling dari Mojokerto, Malang, Dieng, Jogja, hingga Singapura dan Malaysia. Kedatangan
Mas Faris yang ketiga adalah saat ia ke rumah bersama keluarga besarnya untuk
melamarku. Benar-benar waktu yang sangat singkat, dan mulus. Keinginan kami
disambut baik keluarga dan InsyaAllah diridhoi Allah. Acara lamaran berjalan
lancar, kami pun mempersiapkan pernikahan empat bulan kemudian.
***
“Mas, nggak nyangka ya?”
“Iya ya, dek. Dulu kemana aja ya kita? Udah kenal lama, baru
niat nikah sekarang-sekarang,”
“Hihi... Jodoh emang Rahasia Allah, ya mas...”
Aku menghitung, sejak awal kami bertemu kembali dan taaruf, hingga lamaran dan walimahan, ada enam bulan waktu yang terdedikasikan. Sebulan untuk taaruf, sebulan kemudian lamaran, dan empat bulan selanjutnya untuk persiapan walimahan.
Alhamdulillah, hari ini kami akan melangsungkan akad nikah.
Resepsi akan dilancarkan sehari setelahnya. Berbagai sanak-famili dan sahabat
sudah diundang. Doa-doa dan harapan pun dimunajatkan. InsyaAllah, kami akan
menjadi pasangan berbahagia, sakinah, mawadah, warahmah dengan Ridho Allah dan
doa teman-teman semuanya.
Subhanallah, Maha Suci Allah beserta segala karunia dan rahmatnya.
Cerita ini pun berakhir dengan bahagia, meski tanpa istana,
gaun mewah, dan pangeran kuda putih dengan pedang baja-nya.
Surabaya, 10 Januari 2015
Shei dan Faris Mohon Doa Restu....