Apakah kau pernah merasa sendirian dan merana?
Aku hampir tiap malam.
Sebetulnya aku tidak takut sendiri, tapi
ketika dingin menyergap, dan
kulkas kosong lalu perutku lapar... Aku takut aku akan
mati.
Aku tidak begitu menakuti kematian. Hanya
saja, aku tidak suka membayangkan rohku tercabut dari raga, katanya sih sakit.
Aku pernah menanyai Nenek Grasia yang tinggal di seberang jalan, katanya ia pernah mengalami
kematian. Ia kini menjalani hidup kedua. Oleh karena itu, ia berganti kelamin.
Katanya, “Seharusnya,
aku tak
dilahirkan sebagai laki-laki, namun, perempuan”. Nama sebenernya adalah Gerson.
Lagian, kenapa takut mati?
Aku cuma manusia yang kebetulan lahir
saja. Ibuku pernah bilang aku ini bayi yang nggak disengaja lahirnya. Menurutku
itu baik, menurutnya tidak. Tapi, entahlah. Kalau tidak baik, bagaimana mungkin
aku menyukai diriku, kan?
Hal lain yang kuingat adalah... ada semacam
kebotakan berbentuk lingkaran di beberapa jengkal jari setelah jidat. “Kau dulu
divakum” cerita Ibuku. Dulu, aku berpikir kalau aku ini adalah debu. Aku lihat
di televisi, mereka menyebut penyedot debu sebagai vakum. Ternyata aku manusia. “Ada-ada saja kau ini,”
suatu hari ibuku tertawa, dikiranya aku melucu. Padahal aku memang belum tahu perbedaan antara bayi dengan debu. Aku pikir mereka sama, toh, sama-sama di-vakum.
“Bu, apakah yang dilakukan orang-orang di
liang lahat?” aku pernah bertanya. Aku ini sangat takut akan gelap. Katanya
sih, liang lahat itu gelap.
“Kuburan, maksudmu?”
“Iya...”
“Entahlah, mereka sudah mati. Orang mati mana bisa gerak?”
ujarnya sambil menenggak bir dingin. Aku tidak suka baunya. Terutama kalau ibu
sudah capek kerja sepanjang malam dan pulang dalam keadaan mabuk. Ia pasti
mengira aku ini maling dan mengejarku kesana-kesini sambil memukuli pantatku.
Aku sering cemas kalau mendapatinya mabuk. Biasanya di akhir bulan. Ketika
gajinya menipis, dan aku harus makan indomi tiap malam.
“Brengsek ayahmu! Kau mirip dengannya, maling
kau pasti. Bajingan!” begitu yang biasa ia katakan. Dan aku akan terjaga sepanjang
malam sambil berlarian
dan
melihat-lihat apakah ibuku akan melukai dirinya sendiri dengan pisau yang ia
bawa untuk mengejarku. Setelah capek, biasanya ibu akan tergeletak di lantai
dan tidur. Keesokan paginya, aku harus menyiram mukanya dengan air dingin supaya bangun dan
mengingatkannya untuk mandi, lalu sarapan (aku pernah mencoba mencipratinya saja, tapi tidak berhasil, jadi aku
mulai terbiasa untuk mengguyur seember). Setelah ia bangun dan sarapan, ia akan bergegas kerja shift pagi sebelum lanjut shift malam. Ia hampir tak
pernah libur. Makanya, aku juga tak pernah marah meski sering dipukuli ketika
ibu mabuk. Ia menyayangiku, kok.
“Dua hari lagi kau ulang tahun, Ibu akan kasih
hadiah ya... Sudah ibu siapkan,"
katanya setelah mendapati dirinya basah kuyup karena guyuran air seember.
Sambil mengepel bekas air yang masih merembes hingga ke karpet ruang tamu, aku
mengangguk pelan. Aku cuma ingin ketemu ayahku. Tapi Ibu bilang itu tak
mungkin, ayahku sudah pergi dan tidak mungkin kembali. Aku pikir ia sudah mati. Tapi ibu menggeleng. Ia
bilang ayahku masih hidup, hanya saja tinggal dengan keluarga lain. Ia juga
mengingatkanku untuk menggunakan kata “meninggal”, bukan “mati”. Kata “mati” itu cuma buat
tikus. Misal, tikus mati di got,
atau tikus mati kejepit pintu.
“Nanti kau akan menyesal, lho.... Ibu udah kasih
tau, ya...”
“Kalau ayah meninggal, aku lebih senang....”
desisku sambil meneruskan mengepel. Ibu tersenyum sambil menggumam kalau
kepalanya sakit terantuk lantai. Sepertinya ia tidak ingat kalau terpeleset
semalam.
***
“Bu, kau mau apa?”
“Diamlah, demi kebaikanmu” ia meneruskan
mengikatkan lilitan kawat, metal, dan kaca melingkari tubuhku. Aku tau itu
sebuah bom. Ia ingin kami mati. Kau tau kan? Aku takut mati. Tapi, tidak di
hari terik seperti ini, apalagi
sedang bersama ibu. Aku sangat menyayanginya. Aku tau ia pun begitu.
“Sakit tidak?” tanyaku
penasaran, sambil tetap diam sampai ibu selesai mengikatku, lalu mengikat
dirinya sendiri.
“Enggak” jawabnya
singkat.
Menurutnya, bunuh diri menggunakan bom tidak
akan sakit. “Aku membacanya di internet,” dengusnya sambil kesulitan
melingkarkan kawat ke badannya sendiri. Seharusnya ia tak perlu membawa dua bom
sekaligus. Ia harus menyimpan salah satu. Jaga-jaga kalau percobaan bunuh diri
pertama kami tidak berhasil. “Ini pasti berhasil, Joe memberitahuku,” jawabnya
ketika kutanyai kenapa dia harus repot memasang keduanya pada masing-masing
kami.
“Tetangga bakal kena juga, bu?”
“Nggak, radiusnya kecil kok. Lagian kan cuma
kita yang ingin mati, bukan mereka,”
“Bagaimana kalau mereka juga ingin mati
seperti kita?”
“Nggak mungkin, Ndre... Hidup kita yang
merana, bukan mereka” lanjutnya. Sebelum menekan tombol pemicu, ia mendesis,
"Selamat
ulang tahun, Ndre. Kau tak perlu hidup susah lagi sekarang."
Aku terkesiap oleh dentuman kencang dan hamburan metal, kaca,
besi dalam hitungan detik. Aku sedikit sadar sebelum menemukan potongan tanganku
dan beberapa cacah daging yang berserak diantaranya.
***
Dua hari sebelum ibu memutuskan untuk
mengakhiri hidup kami menggunakan bom, aku sering melihatnya dan laki-laki itu
bertengkar. Kali ini hebat sekali, sampai tetangga mengunci rapat-rapat rumah
mereka. Tidak ada yang mau berurusan dengan laki-laki itu dan ibuku. Mereka
takut.
Laki-laki itu adalah pacar ibu. Ia sering
diantar laki-laki itu sepulang kerja, karena hari terlalu larut. Mungkin, ini
hal yang wajar ketika dua orang yang memiliki hubungan spesial saling menjaga.
Entahlah. Biasanya, setelah sampai di rumah, mereka ciuman dan tidur di
ranjang. Aku memergoki mereka ketika ingin mengambil air minum tengah malam.
Sudah kali ketiga aku melihat mereka seperti itu, dan sepertinya, setelah di ranjang,
mereka akan berhubungan
seksual (aku pernah melihat video seperti itu di ponsel Thomas, tetanggaku, kelas 3 SMP).
Keesokan
paginya, mereka terlihat mesra, aku berangkat ke sekolah dan tidak tahu apa-apa
lagi. Aku lupa nama laki-laki itu. Kami tidak mengobrol banyak. Lagian dia
kayaknya nggak suka sama aku. Menurutnya aku ini cuma tikus kecil pengganggu. “Kalau nggak ada dia,
lebih enak” ujarnya suatu ketika, dan aku tidak peduli. Ibu menyikutnya pelan dan bilang kalau cuma aku
yang dia punyai dalam hidupnya yang sangat menyedihkan. “Jual aja nanti kau
dapat duit,” dengusnya sambil terseok memakai sepatu kumal warna coklat. Bau
anyir menyebar cepat ke seluruh penjuru ruang tamu ketika ia mencopot sepatu
itu, hampir tiap malam. Ibu terlihat cemberut dan tidak berkata apa-apa, sambil
sesekali melihatku. Aku tersenyum mencoba menenangkannya, aku tidak apa-apa.
Aku tidak peduli padanya. Aku cuma peduli pada Ibuku.
“Terima
kasih ya, Ndre, kau sudah manis sama dia. Dia bosku. Aku
punya hutang banyak sama dia,” kata ibuku sembari berbisik. Aku mengangguk dan pamit untuk
pergi ke sekolah tanpa sarapan.
Djakarta,
11 Juni 2014