“…..jangan sampai kedatangan saya di Metro TV ini juga dipolitisasi lho, ya” kata saya dengan senyum-senyum ke Mas Indra, presenter Prime Time News Metro TV. beberapa saat setelah ia menanyai motif melayangkan surat terbuka ke FIFA.
Cerita Tentang Saya
Saya ini orang yang sangat cuek terhadap diri
sendiri. Hidup saya biasa-biasa saja, ini yang membuat saya banyak mikir di
luar diri saya. Karena, pada dasarnya, saya orang yang bahagia. Lahir di
keluarga mampu dan utuh serta memberikan limpahan kasih sayang. Belum lagi
memiliki teman-teman penggerak yang mau diajak mimpi besar untuk berkontribusi
bagi negri ini melalui Save Street Child. Mereka ada di seluruh Indonesia. Iya,
anak-anak muda yang sangat keren! Saya beruntung.
Tapi, saya sangat rewel terhadap hal-hal yang
saya rasa tidak benar, dan kira-kira bisa diperbaiki. Nanti saya akan cerita.
Ini adalah tentang lingkaran kecil, dan lingkaran besar. Lingkaran kecil,
menurut saya, menyangkut tentang hal-hal remeh, yakni tentang diri sendiri dan
tentu saja kelompok yang berafiliasi dengan kita. Lingkaran besar, di lain
pihak, berisikan hal-hal yang menyangkut kepentingan publik, dalam ranah yang
lebih luas lagi.
Akhir-akhir ini saya sedang mendapat durian runtuh atas opini saya tentang
“netralitas media” yang tertuang pada Surat FIFA. Kebetulan, kasusnya
adalah tentang bagaimana menjaga netralitas media selama masa kampanye, melalui
siaran piala dunia. Siapa yang tidak menunggu Piala Dunia? Perhelatan sepak
bola terbesar di dunia yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali ini
mungkin dinantikan oleh semua orang di berbagai belahan bumi.
Surat Terbuka FIFA & Frekuensi Publik
Oya, mau tau cerita tentang Surat FIFA?
Begini ceritanya,
Saya menulis sebuah surat terbuka pada FIFA supaya momen Piala Dunia tidak dipolitisasi. Saya sebagai publik sudah
jengah dengan banyaknya iklan-iklan politik manipulatf yang dibalut dalam
siaran-siaran TV tanpa mengindahkan aturan kampanye. Saya rasa teman-teman bisa
baca berita tentang surat KPI ke Kemkominfo mengenai pelanggaran-pelanggaran P3/SPS olehbeberapa stasiun TV.
Mengapa hal ini sampai terjadi? Ini mengingat
kepemilikan stasiun TV. Sebut ada berapa pemilik Stasiun TV di Indonesia? Dia
lagi, dia lagi kan? Nah itulah. Konglomerasi media ini sebetulnya tidak sehat
(entah kenapa masih dibiarkan saja). Tapi, ya bisnis, teman-teman. Lagi-lagi
kita akan bicara tentang kepemilikan modal.
Tahukah kamu?
Secara bisnis, stasiun-stasiun TV memang dimiliki
oleh konglomerat. Orangnya itu-itu saja. Tapi, secara perundangan, frekuensi
siaran itu milik publik, lho. Iya, frekuensi itu milik kita. Dan memang
seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan kita dong yah. Baca
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3/SPS) ini yang berisi aturan-aturan tentang penyiaran.
Pernah dengar “Kode Etik Jurnalistik”? Nah,
dalam penyiaran, ada tambahan aturan. Jika Kode Etik Jurnalistik mengikat
konten pemberitaan, P3/SPS ini mengikat tentang teknis dan bagaimana seharusnya
sebuah stasiun televisi mengudara dalam kanal informasi kita.
Teman-teman harus tau kalau frekuensi itu
jumlahnya terbatas, dan kabar baiknya adalah, itu dikelola oleh negara dan
dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk publik. Terdengar klise? Ya begitulah norma,
memang normatif. Tapi, bagaimana mungkin kita “bermain” tanpa adanya “aturan”?
Nanti malah saling tabok lho =D
Nah, kembali lagi ke topik Surat FIFA.
Jika ditarik motif utama saya menulis surat
terbuka untuk FIFA, tentu saja, antisipasi terhadap politisasi sepak bola, atas nama keadilan dan
merebut kembali frekuensi publik yang selama ini dijajah.
Kenapa menulis surat ke FIFA? Ya
karena FIFA-lah yang punya lisensi penayangan Piala Dunia, dan 2 TV terbesar di
Indonesia itulah yang punya hak siarnya. Mbak Soraya Hylmi juga sudah membahas
kan? Lisensi
tersebut memiliki aturan-aturan dan penayangannya tidak boleh merusak konten
yang seharusnya (lihat video).
Rebut Kembali Frekuensi Publik
Kita juga tahu, 2 TV
pemegang hak siar itu cenderung memihak ke capres tertentu. Dalam momentum
Piala Dunia ini, saya kehabisan kesabaran dan akhirnya mencoba merebut
perhatian publik dengan menuliskan surat terbuka, yang, alhamdulilah, mendapat
animo luar biasa.
Ini baru awal, teman. Kalau teman-teman mau ikut berjuang MEREBUT
KEMBALI FREKUENSI PUBLIK, mari kita sama-sama bikin petisi nanti. Kita bantu KPI dan Bawaslu supaya betul-betul bekerja dengan giat, menyingkirkan sampah-sampah politik
yang tak berimbang dan melanggar aturan kampanye (kampanye harus adil kan?
Tidak berat sebelah? Hehe....)
Lagi-lagi ngomongin netralitas media ya?
Iya.
Ini penting.
Karena, tidak banyak orang yang sepintar
teman-teman ini. Eksposur konten yang berisi kampanye berat sebelah bisa jadi
mempengaruhi opini publik, dan yang pasti, sangat menganggu. Atau, teman-teman
mungkin tidak keberatan ya misal ada capres tertentu yang mendadak jadi
komentator pertandingan atau bahkan mengeblok layar TV dengan iklan politik?
Hehe....
Media seharusnya netral.
Benarkah?
Oh tentu tidak. Media seharusnya MEMIHAK.
Keberpihakannya itu tentu harus pada KEPENTINGAN PUBLIK. Harus diperbesar ya,
supaya kita mengerti. Asal teman-teman tahu, Politisasi ini sudah terjadi sejak
jaman dulu kala. Sejak jaman TVRI masih dikuasai Orba pun. Kita tak akan dengar
adanya berita tentang pemerintah yang korup. Tidak akan pernah.
Namun, di era
keterbukaan informasi seperti sekarang, ketika siaran TV menjadi lebih bebas,
blunder terjadi dimana-mana. Para konglomerat sekarang saling gontok-gontokan.
Ehehe... Saya masih ingat penyebutan musibah lumpur sebagai “LUSI” (Lumpur
Sidoarjo) di beberapa stasiun TV yang dimiliki oleh orang yang berkasus itu. I know, right?
Bedakan Hak Berpolitik dengan Merebut Kembali
Ruang Publik
Banyak yang menyangka, saya menulis Surat FIFA
itu karena motif pribadi saya mendukung capres tertentu. “Coba kalau yang punya
hak siar itu Metro, Mbak Shei pasti gak akan nulis,” semprot seseorang di media
sosial, tepat ketika saya memutuskan untuk menyiarkan surat tersebut di blog.
Saya cuma senyum dan mencoba mengerti. Wajar saja muncul opini seperti ini karena
dalam postingan lain di blog, saya jelaskan saya mendukung salah satu capres.
Saya tidak masalah dengan dugaan seperti itu,
asal bisa dibuktikan. Soalnya, ketika saya mendapat slot untuk menjelaskan
mengenai kekhawatiran politisasi piala dunia di Metro TV malam lalu (11/06), saya
juga menegur Metro TV (lihat video).
Saya minta, Metro TV dapat menjaga independensi selama masa kampanye
ini, supaya dapat memberikan informasi secara berimbang. Tahu tidak? Metro TV mendukung
siapa? Mereka dukung capres pilihan saya lho, hehe.... Saya tidak peduli. Metro
TV itu instansi media. Ia harus adil juga, tanpa terkecuali.
Pembawa acara diskusi malam itu senyum-senyum
mendengar celotehan saya, karena, kita semua tahu, bagaimana media-media itu
bermain selama masa kampanye. Memuakkan sekali, ya? Itulah, for the sake of fairness, saya memilih
untuk menanggalkan kepentingan politik pribadi demi kepentingan yang lebih
besar (saya bisa saja kampanye untuk mendukung calon presiden saya, kebetulan
acaranya LIVE jadi tak mungkin ada CUT dari produser).
Saya sudah jelaskan di atas. Ada lingkaran
kecil, ada lingkaran besar. Hak politik pribadi termasuk lingkaran kecil. Hak
untuk mendapatkan informasi mengenai siapa nanti yang akan dipilih, merupakan
lingkaran besar.
Kalau teman-teman menonton acara diskusi
“Prime Tme News” di Metro TV semalam, teman-teman dapat melihat fokus dari
Surat FIFA saya. Dan tenang saja, saya cuma gadis kecil yang sedang gelisah
terhadap ketidakadilan. Dan saya adalah bagian dari kamu semua (senyum).
Jadi, mau hidup di lingkaran mana?
Selamat beraktivitas.
Salam sayang,
Shei
P.S:
3 komentar:
Yuk ,kita rebut kembali frekuesni untuk publik.
Wah, jadi tambah ilmu. Thanks for study it, let's make smart. :)
waaaah...love this! setujuuu..stop politisasi ini dan itu yang ngg perlu dan mengganggu sekali...congrats juga untuk your brilliant letter :)...just come across your blog and hope to be back soon :)...cheers...
Posting Komentar