.......ketika Pemerintah sibuk dengan kampanye “Sekolah Gratis” nya, masih banyak anak-anak yang tidak memiliki akses pendidikan. -- Shei Latiefah
Ini merupakan temuan-temuan di lapangan yang menyatakan bahwa,
akses pendidikan tak merata menyebabkan masih banyaknya anak-anak putus
sekolah. Tidak hanya tentang korupsi-korupsi yang dilakukan oleh oknum
pelaksana sekolah (baca ini), namun, ini juga masalah tentang akses mendapat pendidikan tersebut, sebut saja,
anak-anak pengamen yang tak punya akta lahir.
Hal-hal administratif seperti ini
terkesan sepele dan wajib untuk dijalankan, memang sih, namun, kenyataannya
tidak gampang. Banyak sekali pungutan-pungutan liar yang mendarahdaging. Contoh
kasus tahun 2013, di Ciamis, sebut saja A (9 tahun) dan B (8 tahun) yang
merupakan anak korban kekerasan rumah tangga. Mereka ingin sekolah tapi tak
punya Akta Lahir. Ibunya (yang merupakan orang tua satu-satunya) harus mengurus
Kartu Tanda Pengenal (KTP), Kartu Keluarga (KK) hingga Akta Lahir anak-anaknya
ke kampung tanpa suami (karena kasus KDRT tadi. Untuk mengurus printhil-printhilan supaya bisa
bersekolah saja, harus setengah mati, setengah hidup. Pertama, mekanisme
pembuatan surat-surat administratif yang memakan waktu atau biaya. Iya.
Kadang-kadang memang ada diskriminasi dari waktu
dalam pembuatan surat-surat administratif tersebut. Jika ingin berpacu dengan
waktu, maka, anda dipersilakan untuk meletakkan amplop yang telah terisi di
bawah meja petugas. Kedua, setelah berhasil keluar dari sistem administratif
yang korup, anda akan dicegat oleh sistem pendidikan yang korup pula. Tak
jarang ada biaya-biaya ajaib yang muncul dan dibebankan pada siswa-siswa yang
sekolahnya sudah menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), jumlahnya hingga
Milaran. Padahal, dana BOS untuk tahun 2012 Rp.23,6 Triliyun (baca ini).
Ketiga, jelas-jelas sekolah gratis kemudian tidak efektif dan merupakan
pencitraan tercela. Ini mengorbankan waktu dan nasib anak-anak bangsa yang
memang membutuhkan akses pendidikan.
Saya dan teman-teman dari SaveStreet Child merasa prihatin dan sedih, bagaimana mungkin anggaran trilyunan rupiah yang
dialokasikan untuk pendidikan bisa tak efektif? Kami yang cuma bisa beri
Rp.200.000 per triwulan untuk 6 (enam) kelas belajar di Jakarta, Depok,
Tangerang, saja diwajibkan untuk dimanfaatkan secara baik, demi kemaslahatan
siswa-siswa yang berjumlah total sekitar 120 siswa tersebut.
Ketimpangan-ketimpangan inilah
yang membuat masyarakat menjadi apriori dan memilih untuk mengambil sikap entah
dengan sistem alternatif seperti homeschooling atau menyelenggarakan kelas
informal seperti Save Street Child ini.
Kreatif? Iya. Namun, sampai kapan anak-anak tersebut menjadi tak jelas nasibnya? Bukankah pendidikan merupakan hak? Mengapa menjadi komoditas politik yang digadang-gadang hanya ketika menjelang pilgup-pilpres-dan pil-pil lainnya :(
Disclaimer: Saya menulis di sini bukan berarti menjadi orang yang paling tahu tentang sistem, tidak sama sekali, malah. Maka dari itu, tulisan ini hanya sekedar refleksi berdasarkan temuan-temuan di lapangan mengenai kinerja sistem tersebut.
- Foto diambil dari sini
3 komentar:
Ketika aq ingin berteriak "Pendidikan adalah hak setiap warga negara", saya jadi malu... salut untuk km! Ingin sekali bisa membantu menggapai mimpi anak-anak Indonesia.
Semoga semakin banyak Shei Latiefah yg lain yg peduli terhadap Pendidikan Bangsa ini,.... untuk saya sendiri bahwa mandulnya pendidikan bangsa ini tidak melulu karna kesalahan pemerintah karena yang terparah adalah mereka yang hanya bisa mengumpat tapi tidak berbuat apa-apa sama sekali untuk Indonesia yang Lebih Baik.
Semangat terus Sista! Semangat terus Save Street Child!
@ Danang: terima kasiihh...mohon doa dan dukungannya *kayak capres nih*
@ Cak Oyong:
Amiiiinnnn doain ka semoga istiqomah
Posting Komentar