Rabu, 19 Maret 2014

Belajar Menerima


Orang senang sekali dengar kata “menerima”, dari mulai “menerima” gaji, sampai “menerima” proposal cinta. Tapi, kenapa kita susah sekali “menerima” nasib buruk? Apakah memang benar adanya nasib buruk itu? 

Coba kita pikir-pikir lagi. 

Begini ceritanya, Suatu hari, ada seseorang yang sangat kaya raya, dan makmur sentausa. Suatu hari, ia jatuh sakit, dan uangnya habis untuk berobat. Ia menderita kanker. Saat ini, yang bisa ia lakukan hanya berbaring dan menyaksikan tabungan terkuras untuk pengobatannya. Sekarang tidak terlalu mahal karena sudah ikut asuransi, tapi ia tak pernah merencanakan untuk membuang tabungannya di Rumah Sakit pada usia semuda itu! 19 tahun.

Seharusnya ia bersenang-senang dengan teman-temannya, menjelajahi dunia, dan berdandan seglamour mungkin. 

Tapi, ternyata nasib buruk mengubah semuanya. 

Ia begitu menderita. 

Ia murung setiap hari. 

Tidak ada harapan hidup. 

Suatu kali, seseorang mendatanginya, dan menyatakan bahwa ia sangat mencintainya. Bahkan meski kepalanya sudah botak dan kulit tangannya keriput karena semakin hari ia semakin tak tahan dingin. 

Orang itu adalah ibunya. 

Gadis itu tak menyadari bagaimana cinta ibunya kepadanya sampai pada hari itu.

Gadis itu juga tak tahu betapa teman-temannya hanya mengandalkan kekayaannya untuk bersenang-senang, dan ketika dia sakit keras, tak ada yang tersisa menemaninya.

Suatu rasa yang hangat hinggap di hatinya. 

Ia merasa dicintai. 

Cinta yang tanpa perlu dibeli dengan traktiran atau hadiah barang-barang mewah. 

Cinta yang tulus dari seorang ibu. 

Pada hari itu, ia belajar menerima penyakitnya.

Belajar menerima?

Bukankah sebenarnya sederhana?

Mengapa kita kadang menolaknya? Bukankah, meski kita tolak, ia tak mau berpaling? Ia tetap menghampiri?  

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More