Kesamber Gledek
Hari itu saya terkejut setengah mati setelah ditelepon oleh
Ibu Maryam, yang punya kontrakan di Depok, tempat basecamp Save Street Child. Ia
ingin mengakhiri kontrak rumah yang biasa kami gunakan sebagai pusat segala
kegiatan Save Street Child tersebut. Apa boleh buat. Kami harus pindah sebelum
pertengahan bulan, alasannya? Karena Bu Maryam ingin menempati rumah tersebut.
Meski itu bukan alasan utama, karena sebelumnya ia bilang akan menempati rumah
sebelah, bukan rumah kami. Beberapa kali saya sempat dikomplain karena basecamp
begitu kotor, rusak, dan tidak ada yang memperhatikan, bahkan pintu sering
terbuka sendiri. Saya yang sudah tak tinggal disana tentu saja bingung, apalagi
beliau juga bilang bahwa 3 bulan listrik tak dibayar. Sudah hampir mau diputus
permanen oleh PLN (katanya). Padahal kami sudah serahkan pengurusan basecamp
pada beberap orang yang tinggal di sana, tapi ada yang mengecewakan dan membuat
kami semua repot. Uang listrik juga sudah diamanahkan, tapi ternyata amanahnya
tak sampai. Entah bagaimana bilangnya, bahkan ia juga sudah pindah ke tempat
lain tanpa pamit. Kami pun tak dapat menjelaskan apa-apa ke empunya kontrakan
^^. Jadilah, kami harus pindah, tanpa ada tawar menawar lagi. Hati begitu
gelisah. Karena dalam tempo seminggu dan hanya ada waktu luang di hari Sabtu-Minggu,
bagaimana bisa langsung bisa pindah? Tapi Allah berkehendak lain.
Kontrakan itu kami gunakan untuk basecamp dengan berjuta
rupa barang-barang ajaib yang dibutuhkan oleh anak-anak. Selain untuk tempat
menyimpan barang, tempat untuk tidur dan shelter sementara anak-anak yang butuh
sekolah, basecamp juga dibuat untuk perpustakaan gratis dan kelas belajar
#KelasKpManggah yang dipimpin Ibu Suri Talitha.
Sudah hampir satu tahun saya tinggal disana bersama teman-teman yang lain. Kami merawat anak-anak
dan menyekolahkan mereka. Pernah sampai sepuluh anak, datang dan pergi, tapi
kami senang hati menerima mereka. Sampai pada akhirnya, mereka memutuskan untuk
kembali ke keluarga mereka, dan hanya tinggal seorang-dua. Tapi begitulah kami
bekerja. Pernah ada seorang kru Televisi yang baru bertemu saya sekali dan
sudah mengamanahkan dua orang anak korban KDRT kelahiran Malaysia. Hingga saat
ini, anak-anak tersebut masih dalam kontrol kami, meski sudah ada yang di
Yayasan Rumah Yatim dan ada yang mau nyantri. Bagi kami, anak adalah titipan.
Sesiapa yang tak bisa lagi dititipi, boleh dialihkan, demi masa depan si anak.
Berlaku untuk orang tua zalim yang tidak bisa adil mengasihi dan mengasuh
anaknya.
Terpaksa,
Karena sekarang saya sudah kerja dan tinggal di daerah
terpencil di Kebon Jeruk, anak-anak harus ngungsi. Beruntung, ada yayasan yang
mau mengasihi mereka dan bisa dititipi. Jadi, tidak ada tanggungan lagi. Tapi,
tetap saja, Basecamp itu menyimpan banyak fungsi dan cerita.
Perpus Gratis, Kelas
Gratis, Shelter Gratis
Kami merasa sangat beruntung karena Basecamp Save Street
Child berfungsi banyak, harga terjangkau dan aksesnya lumayan mudah. Bentuknya
seperti rumah biasa, dengan tiga kamar, satu dapur, satu kamar mandi, halaman
juga ada jadi anak-anak bisa bermain dan bergelayutan di pohon dekat pagar yang
membatasi daerah rumah kami dengan rumah yang lain.
Dalam basecamp itu, kelas belajar berlangsung empat hari
seminggu. Ada kelas Bintang kecil (Usia PAUD-TK), Kelas Bintang Kejora (Usia SD
1,2,3), Kelas Bulan (Usia SD 4,5,6) dan Kelas Matahari (Usia SMP). Kami
melayani kelas belajar untuk anak-anak di sekitar yang mayoritas berasal dari
keluarga menengah kebawah secara ekonomi. Tugas utama kami adalah menyediakan
pusat belajar yang dapat mengalihkan perhatian mereka dari aktivitas yang tak
mendidik. Selain itu, seperti program “Kelas Belajar Save Street Child”
lainnya, kami juga sering mengajak anak-anak perserta belajar untuk bertamasya
secara edukatif. Ini sangat disambut baik oleh orang tua mereka.
Selain kelas belajar, kami juga menyelenggarakan
perpustakaan gratis yang berbasis kejujuran. Perpustakaan itu terbuka, dan
anak-anak boleh pinjam, dan mereka yang mencatat sendiri di kertas form yang sudah
disiapkan. Buku-buku tersebut boleh dipinjam dan dikembalikan sesuai jadwal.
Fungsi utama basecamp adalah tempat tinggal saya tentunya
dan anak-anak juga beberapa teman. Karena ada 3 kamar, cukup banyak manusia
yang bisa tinggal di sana. Datang dan pergi. Itu sudah biasa. Patah hati
berkali-kali, sudah biasa. Bagi saya, kehilangan anak-anak itu lebih-lebih
sakit daripada putus cinta. Karena saya begitu mencintai mereka. Saya banyak
belajar dari mereka.
Bumpy Road. Ah Life.
Sejak 2010, saya sudah mulai membiarkan anak-anak
menggunakan kos di Mampang, Jakarta Selatan, sebagai shelter untuk mandi, makan, dan tidur. Ada
dua anak awalnya, kemudian bertambah hinggal 2011, mereka ingin sekolah. Saya
memutuskan untuk pindah ke Depok supaya anak-anak bisa bersekolah di Sekolah
Master, Terminal Depok (yang saat ini sedang kritis hendak digusur itu).
Bersama rekan saya, kami merawat mereka dengan kasih sayang. Dari rumah petak,
akhirnya pindah ke rumah yang lebih layak untuk dihuni 11 orang. Basecamp SSC
lah tempat kami berbagi lapar, canda, tawa dan air mata. Begitu banyak cerita
di sana.
Alhamdulilah,
Dipertemukan dengan basecamp SSC tahun 2011, dengan biaya
sewa yang tak jauh berbeda dari rumah petak kami awalnya, akhirnya kami
putuskan pindah. Kenapa? Kami dikomplain oleh tetangga. Kami? Tentu saja saya
yang dimaki-maki. Anak-anak hanyalah anak-anak, mereka tidak sadar bahwa energi
mereka ternyata merugikan tetangga.
“Ngasuh gelandangan sih boleh, tapi itu kok nggak mikir
brisik banget…. Mau baik tapi kok ngga punya otak”. Kira-kira begitulah makian
yang sering saya dengar. Awalnya nangis Bombay. Berasa ibu-ibu beranak banyak
yang tidak becus mengurusi. Lama-lama kebal, berkat dukungan Mama dan
teman-teman. Anak-anak juga sudah bisa diatur. Mereka boleh berlebihan
melampiaskan energi pada jam setelah tidur siang. Yang saya tekankan pada
anak-anak adalah menjaga harga diri mereka. Mereka boleh ditegur jika mereka
salah, tapi mereka tidak boleh membiarkan diri mereka dihina karena mereka
berbeda dari anak-anak kebanyakan. Anak-anak paham, dan mereka hidup normal,
meski kadang kelebihan energi nya masih merepotkan. Hihi…..
Bisa dibayangkan ya, bagaimana seorang mahasiswa dengan uang
pas-pasan hidup bersama sepuluh orang sebagai keluarga besar. Awalnya memang
subsidi dari diri sendiri (kiriman uang orang tua), lama kelamaan, ada donatur,
itu yang meringankan kami. Pernah suatu kali, kami hanya punya uang Rp,25.000
dan harus makan 3 kali sehari untuk 11 orang. Mau tak mau, suka tak suka, makan
seadanya. Dan Alhamdulilah cukup.
Mengalami kejadian-kejadian luar biasa bahkan sebelum
membina rumah tangga sendiri membuat saya terlihat sepuluh tahun lebih tua.
Jadi jangan kaget jika omongan dan muka saya memang terkesan tua hihi….
Saya cuma tersenyum kalau ada orang-orang mengeluhkan
kesulitan hidup mereka. Saya pun pernah mengalami, bisik hati saya. Tapi,
itulah tantangan seorang hamba, jika diberi cobaan akankah mengeluh atau malah
bersyukur. Saya juga kadang mengeluh, manusiawi. Tapi, sadar bahwa,
keluhan-keluhan itu malah membuang energi baik dan tidak memberikan solusi
apapun. Akhirnya, bersyukur dan memilih bahagia.
Rumah Baru: Taman
Siswa SSC
Flashback dari
tahun ke tahun ternyata cukup menyita memori. Betapa banyak cerita-cerita yang
terjadi. Save Street Child dan kehidupan saya tidak pernah terpisah. Selalu
bersinergi. Sehingga sulit membedakan mana hal yang seharusnya personal, mana
yang menyangkut organisasi. Bisa dipastikan, kehidupan sosial saya bersama
teman-teman sebaya sangat payah. Karena Senin-Jumat saya harus bekerja di
daerah terpelosok, dan Sabtu-Minggu saya bahagia menjadi pelayan, sesekali
ambil cuti untuk ke luar kota atau sekedar jalan-jalan. Apa boleh buat. Ini
hidup yang saya pilih. Daripada mengeluh, saya memilih untuk menjalaninya dan
berbahagia (belum lagi kalau ada jadwal interview dengan rekan-rekan media
cetak maupun televisi). Lucu. Tapi, memang itulah hidup.
Sekarang?
Kami menemukan rumah baru, meski tak sebesar yang dulu.
Dengan biaya lebih murah, rumah tersebut kami namai “Taman Siswa SSC”. Meski
anak muda, kami ini romantis, kami suka hal-hal yang kuno. Taman Siswa
mengingatkan kami akan cikal bakal sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar
Dewantara. Mila yang memulai, kami mengamini.
“Taman Siswa SSC” ini sederhana. Hanya ada dua sekat kamar,
kamar mandi, dan halaman mungil. Tapi entah kenapa, saya mencintai rumah ini
sejak pertama ketemu.
Letaknya tak jauh dari Basecamp SSC yang lama, satu gang
lebih awal, meski tak ada tempat untuk parkir mobil. Tapi kami bahagia. Kami
menemukan rumah itu setelah tiga jam melanglang di sekitaran Depok. Begitu
nemu, langsung dibayar, langsung pindahan. Bahkan tanpa sewa pick-up maupun
truk. Teman-teman sangat kreatif dan tanpa modal. Mereka meminjam gerobak
pemulung yang tetanggan sama kami.
Bersyukur sekali.
Awalnya saya pikir isu pindahan ini sangat memakan energi
dan waktu, ternyata sangat salah. Sampai pukul
5 sore kami selesai drop barang di rumah baru, kami menyiapkan buka
bersama adik-adik #KelasKpManggah. Menyenangkan! Betapa hari itu barokah.
Ini adalah tulisan blog terpanjang yang pernah saya buat.
Dan tulisan ini akan saya rekomendasikan pada teman-teman wartawan yang ingin
mengetahui bagaimana perjalanan hidup tentang anak-anak dan Save Street Child
dalam skup kecil. Hihi….
Terima kasih sudah membaca.
Saat ini, yang hanya bisa kita rasakan adalah kebahagiaan.
Karena semua itu sudah terjadi. Hanya bisa senyum. Melihat ke belakang, betapa
bodoh kita, betapa suka marah-marah, makin hari makin dewasa, makin hari makin
ngerti. Ah. Life.
Gallery
Gambar 1: Ribuan rupa barang-barang yang harus diangkut
Gambar 2: Kru bekerja sambil setengah pusing
Gambar 3: Mila dan Rak Buku kami yang harus ditinggal. Ini buatan Ayahku :")
Gambar 4: Kru masih sempat rapat Hari Anak SSC ditengah kesibukan pindahan
Gambar 5: Berpose bersama di depan rumah baru "Taman Siswa SSC"
Gambar 6: Berbuka puasa bersama setelah pindahan bareng adik2 #KelasKpManggah
Gambar 8: Keluarga besar yang bahagia
Gambar 9: Adit, satu-satunya anak yang tersisa dari 10 anak. Sekarang dia di Pesantren Master
Gambar 10: Endang, Saipul dan Ondet. Anak Malaysia. Masih dibawah pengawasan kami
Gambar 8: Keluarga besar yang bahagia
Gambar 9: Adit, satu-satunya anak yang tersisa dari 10 anak. Sekarang dia di Pesantren Master
Gambar 10: Endang, Saipul dan Ondet. Anak Malaysia. Masih dibawah pengawasan kami
3 komentar:
semangat terus mbakkk... :D
Cool..
Baca tulisan2 ini bikin aku cepet gabung sama SSChild Surabaya. Makasih kak :)
Posting Komentar