1
“Aku benci banget deh, sama cowok”
dengusnya gusar. Sesekali ia melihat layar ponselnya dan berharap seseorang
menghubunginya. Setidaknya, itu yang kulihat pada diriku dulu, ketika pertama
kali jatuh cinta.
“Memangnya kenapa sih?” aku mencoba
mengajaknya berbicara. Sedari tadi kami hanya berhadapan, dan meminum kopi
masing-masing, tanpa membicarakan hal penting. Aku lebih banyak menghitung
deretan lukisan yang menggantung di dalam kedai, ia lebih banyak menggumam dan
memandangi layar ponsel seakan menunggu undian berhadiah dan membawa pulang
mobil tanpa dikenakan pajak, semua orang pasti suka.
“Cowok ini, seenaknya aja, habis
nidurin aku, nggak ngasih kabar sama sekali. Kalau aku hamil, gimana? Mana
pertanggungjawabannya?”
“Ya tapi kamu kan nggak mungkin
hamil”
“Siapa bilang? Kalau Tuhan
berkehendak? Aku bisa apa?”
Ia masih terlihat kesal, sembari
terus menyesap kopi, tak tampak sedikitpun guratan kepuasan dari mimik
wajahnya. Padahal, kopi adalah minuman favorit Rino.
“Aneh kau”
“Biarin. Pokoknya aku sebel sama
cowok”
“Lah, kau pun cowok”
“Cowok. Duh, beb. Cowok yang cowok
gitu, deh..... Ah, kamu tuh nggak ngerti”
Aku terkekeh, dan menepuk dahinya
dengan gemas.
“Coba ceritakan, gimana kau kesal
dengannya”
“Apa? Nggak ah. Private. Praaayvet,
ngerti. Huh”
“Baiklah”
Aku pura-pura tak peduli. Biasanya,
kalau begini, Rino akan mulai menahan nafas. Kesal. Lalu bercerita karena sebenarnya
ia juga ingin bercerita, tapi ia akan marah, kenapa aku tak memaksanya dengan
sungguh-sungguh. Lalu dia pasti akan mengumpat....
“Dasar perempuan eskimo, gini
ya...aku ceritain...”
Benar kan.
“Namanya Toni. Bodinya sekeren Tony
Starks, gitu deh”
“Tony Starks, siapa?”
“Yaampun. Ini anak dari kampung
mana, sih. Iron Man.”
“Okay”
“Gitu. Aku awalnya nggak ngerti juga
kalau dia juga gay. Dia itu pacarnya
sahabat temanku. Linda. Kami ketemuan beberapa minggu lalu di salon. Linda sama
sahabatku, nyalon, aku cuma maskeran sebentar, lalu menemani Toni menunggui
Linda. Sahabatku namanya, Jane. Tapi dia tak terlalu penting. Nah, si Toni ini
tiba-tiba mengajakku ngobrol. Lalu, kami tiba-tiba klop aja gitu beb”
“Okay”
“Nah, beberapa hari setelah
pertemuan kami di salon itu, Toni mengajakku jalan, dalihnya, mau beliin Linda
kado buat annivesary mereka gitu”
“Lalu?”
“Ya gitu beb. Pas di mobil, dia itu
ngerangsang-ngerangsang aku. Aku kan kaget! Aku pikir, ini cowok gimana sih,
udah punya pacar, lagian......kok tiba-tiba gitu. Aku sebenernya udah naksir
sih, sama Toni. Tapi, aku nggak berani, dia kan pacarnya Linda”
Ditengah-tengah tumpahan cerita
Rino, tiba-tiba pelayan kedai menyodorkan kentang goreng yang tidak kami pesan.
Tapi Rino langsung menerima dan bilang kalau nanti dia yang bayar. Kebetulan,
buatku. Ini seperti menonton film bioskop hanya saja tanpa adegan banyak-banyak,
hanya monolog. Yasudah, setidaknya aku punya kentang goreng dan kopi. Hidupku
sesederhana itu untuk berbahagia.
“Sampai mana tadi?” Rino menyomot
kentang goreng dan mencocolkannya pada saus sambal sedikit. Ia tak begitu suka
pedas, tapi, sepertinya, ada dosa kolektif jika makan kentang goreng tanpa
dicocolkan ke saus. Sepertinya Rino penganut paham itu. Setidaknya, ia bisa
minta dibawakan saus tomat saja.
“Kamu dirangsang di mobil”
“Iya gitu, beb. Terus yaudah.
Kejadian deh” Rino mengubah mimik antara sedih campur bahagia. Anak itu emang
jago main peran.
“Bilang aja suka.... Pake sedih
segala,” celetukku sambil melemparkan beberapa kentang ke arahnya. Rino manyun
dan mendengus sebal lalu mengambili kentang tadi dan langsung membuangnya ke
tempat sampah.
“Suka sih, tapi kan dia pacar
orang”
“Lalu, gimana si Linda?”
“Apaan sih, beb. Kok langsung
nanyain Linda? Aku dulu kek ditanyain gimana perasaannya”
“Iya, iya, sori. Jadi kamu gimana, beb?” Aku mencoba menirukan logatnya dan
seketika membuatku mual. Rino tak kalah muak dengan tingkahku.
“Jangan bikin aku muntahin kentang
goreng enak ini, deh, beb. Ya..pokoknya, setelah kejadian itu. Dia nggak
menghubung-hubungi aku lagi”
Aku mengangguk. Memetakan kembali
tebakanku yang ternyata tepat. Benarlah Rino sedang jatuh cinta. Toni, nama
yang dikaguminya.
“Sekarang kamu gimana?”
“Kangen, cemas, merasa bersalah”
“Aku ngerti” aku memeluknya dan
mencolekkan sambal sedikit ke hidungnya. Rino mengumpat. “Sabar ya....”
Ia mencolekkan sambal ke hidungku
sebagai pembalasan dendam.
Tak lama, ponselnya berdering.
Setengah terkesiap, Rino
mengangkatnya, tanpa gairah.
Ia mendadak menghambur keluar
kedai, dan menginsyaratkan supaya aku tetap duduk di tempatku. Aku khawatir.
Sepertinya ada yang penting, karena, Rino tak biasanya merahasiakan pembicaraan
telepon di hadapanku.
Lima menit setelah menerima
telepon, Rino mendatangiku dengan muka setengah masam, namun, ia terlihat
memaksakan senyum.
“Kenapa?”
“Enggak, nyokap,”
“Oh...”
Aku paham. Kenapa dia agak masam.
Biasanya, Ibu Rino ini membincangkan ekspektasi-ekspektasinya pada Rino, mungkin
topik itu bukan topik yang tepat saat mood
Rino sedang cemas begini.
Rino adalah anak terakhir di
keluarganya, dan satu-satunya yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Keluarga
Rino begitu membangga-banggakan Rino. Dan seakan bersumpah bahwa Rino ini bisa
jadi penyelemat generasi keluarga yang sudah empat turunan melarat. Berkat
kegigihan Bapak Rino menjual rongsokan, dan akhirnya punya lapak dagang
sendiri, Rino bisa sekolah hingga ke SMA dan melanjutkan perguruan tinggi
dengan prestasinya sendiri. Rino memang cerdas. Aku sudah bersahabat dengannya
sejak duduk di bangku SMA. Namun, kami tak kuliah di kampus yang sama.
Kebetulan aku mendapat beasiswa ke Jakarta, sedangkan Rino masih kuliah di
Surabaya. Minggu-minggu ini, aku mudik. Dan tentu saja, aku selalu menyempatkan
untuk ketemu dengannya.
“Eh, beb, aku harus pergi nih...”
“Lah? Cepet amat. Besok aku udah
balik Jakarta loh....”
“Yah, iya sih...tapi ini nyokap
minta jemput,”
“Yaudah nggak papa.....”
Rino lalu membayar semua tagihan
kami.
“Thanks, No”
“Plasure. Eh mau aku drop?”
“Nggak usah, aku masih mau disini,
mau nulis kayaknya”
“Yaudah, take care, beb. Kabari
kalau udah di rumah,”
Kemudian ia mencium keningku. Rino
orangnya sangat perhatian dan penyayang.
Siapapun yang dicintanya pasti
beruntung.
2
Sebenarnya, kalau bukan karena
kampus ini tenar dan jurusanku adalah salah satu tujuan hidup, aku malas tinggal
di Jakarta. Kota ini begitu sumpek, panas dan polusinya melebihi ambang wajar,
terlalu banyak manusia yang jarang senyum dan makanannya mahal.
Akhir-akhir ini, selain sibuk dengan
diktat kuliah, aku juga disibukkan oleh aneka kegiatan organisasi pers kampus
yang bikin aku jatuh sakit, tipes. Ini karena tugas-tugas liputan yang cukup menguras energi dan pikiran. Sebetulnya, aku juga
memiliki kondisi fisik yang lemah, jadi paket-paket itu menjadi komplit dan
menyerang kekebalan tubuh secara signifikan.
Ngomong-ngomong, aku juga sudah
putus kontak dengan Rino. Entah apa kabarnya anak itu. Terakhir dia bilang mau
liburan ke Bali dengan Toni, itu sms dia beberapa minggu setelah aku bertolak
ke Jakarta dari Surabaya. Sepertinya mereka sudah dekat. Aku ikut bahagia
mendengarnya.
3
Aku menampar pipi berkali-kali.
Aku tidak percaya Rino mengirimiku
pesan di facebook seperti ini:
Dear Flo. Aku cuma mau bilang, aku sayang banget sama kamu. Makasih udah jadi orang
yang mengerti aku dengan segala anomali yang ada pada diriku. Tapi, kamu saja
ternyata belum cukup untuk menguatkan aku. Persahabatan kita begitu indah,
tapi, maaf, Flo. Aku ternyata tak cukup bahagia menjadi diriku. Orang tuaku tak
puas, kakak-kakakku tak puas, teman-teman terdekatku menjauh secara teratur. Mereka
sudah tahu kalau aku gay. Padahal, sebelum mereka mencari tahu, aku pun akan
coming out, dan memberitahu tentang orientasi seksual aku pada dunia. Aku hanya
butuh waktu. Cuma kamu yang menguatkanku. Toni, bahkan dia, tidak. Ia bisa
seketika menjadi pacar Linda, dan seketika menjadi pacarku meski itu pun
rahasia. Dia juga tak ingin disangkutpautkan denganku. Aku tak memiliki
siapa-siapa lagi.Terima kasih, Flo.Aku rasa, hidupku sudah tak terlalu penting lagi. Toh, aku sudah lama
dibunuh. Aku sudah lama disuruh mati, tak merasakan kehadiranku dengan
keanehan-keanehan yang ada pada diriku. Aku pun bingung, aku pun tidak tahu
harus bagaimana. Tapi, yang aku tahu, disini, aku tak bisa menjadi diriku
sendiri.Sampai jumpa di langit ke tujuh, Florina. Terima kasih atas persahabatan
kita yang sangat indah.
Aku langsung mengambil telepon dan
memencet nomor Rino dengan tangan gemetar setengah basah. Aku panik. Aku tak
mengerti kenapa Rino mengirimiku pesan seperti itu.
“Halo”
“Iya, Maaf ini Kakaknya Rino, Rinonya...”
“Kak Indra? Ini Flo”
“Oh, Flo. Apa kabar?” Sapanya, lalu
ia menangis. Dan menceritakan padaku kalau Rino ditemukan membujur kaku kemarin
subuh di kamarnya. Sontak hal ini membuat sekeluarga shock. Ibu Rino pingsan berkali-kali. Dan mereka tidak tahu kalau Rino
bunuh diri juga karena mereka. Ia tidak siap dengan penghakiman-penghakiman
yang, bahkan, ia sendiri sedang berjuang untuk mengkonfirmasi identitasnya.
Aku ingin sekali terbang ke
Surabaya dan memeluk Rino, sembari membisikinya kalau ia tak perlu khawatir.
Aku akan selalu disampingnya. Aku mencintainya.
Ia adalah sahabat yang sangat baik
dan penyanyang.
Siapapun yang dicintanya pasti
beruntung.
Tapi nyatanya, tidak ada yang layak
untuk dicintainya.
*Sebuah tulisan untuk mengenang seorang sahabat, semoga damai selalu
menyertai keberadaannya yang telah bertemu dengan Pencipta, aku merindukanmu.
Shei Layla, Jakarta, 9 April
2014