Sebenarnya, saya paling malas membahas tentang pernikahan,
karena, pernikahan ini secara logika masih jauh dari perencanaan (dasar
jomblo!). Dan, pernikahan ini pembahasan yang cukup menyakitkan, karena,
gara-gara isu ini, saya sering terlalu berharap dan akhirnya menjadi perempuan
penuntut yang membuat lari pasangan (bah!). Tapi gara-gara mampir ke blog-nyaKimi, saya jadi tertarik untuk berbagi tentang pandangan mengenai pernikahan
ini :p
Entah kenapa, karena saya tak pernah belajar tentang
psikologi secara formal, maka saya tidak begitu paham pengupasan hal tersebut
secara psikologis. Namun, karena banyak berdiskusi dengan psikolog dan sering
membaca artikel, saya jadi mengerti mengapa pernikahan ini menjadi hal yang
ngeri-ngeri sedap.
Umur saya di tahun ini, dua puluh lima tahun. Sudah masuk prasyarat
sebagai young adult, alias, perempuan perempat baya. Tentu saja, secara normal,
saya memikirkan tentang pernikahan. Bahkan, ini menjadi bahasan utama dalam
setiap saya menjalin hubungan, yang entah, kebanyakan dari mereka tampak
ketakutan.
Wajar sih,
Karena, perkembangan mental tiap orang berbeda. Selain
membicarakan soal gender (tanggung jawab sosial laki-laki dan perempuan),
perkembangan mental juga isu utama dalam suatu hubungan romantis. Perkembangan
ini yang kemudian membawa pada sikap dalam membuat keputusan.
Dua kali, perencanaan ini gagal di tengah jalan, haha. Yang pertama
tidak terlalu serius, yang kedua cukup serius, yang ketiga.... ternyata serius
udah bubar #eh.
Menarik sekali membicarakan tentang krisis paruh baya ini. Beberapa
waktu lalu, saya sempat mampir ke blog ini, dan penulisnya, menceritakan
bagaimana krisis paruh baya-nya membuntuti hingga ke umur 31 tahun. Menurutnya,
ini adalah hal yang sangaaaat wajar. Coba saja baca blog-nya. Karena, banyak
pelajaran yang bisa diambil. Kalau saya, jadi lebih berhati-hati dalam memilih
pasangan untuk dinikahi (teteup).
Krisis ini saya langsung kaitkan ke “wedding dream”, ilusi
tentang pernikahan. Mengapa ilusi? Karena, secara logika, menikah artinya
menautkan diri kita ke pasangan dan bersumpah untuk menjalani hubungan permanen
baik suka-duka dankemudian membesarkan anak bersama, lalu menanggung beban
hidup berdua. Kenapa ada orang sebodoh ini? Kenapa ada orang yang mau menautkan
diri ketika pergi dan menggoda sana-sini lebih menyenangkan? Kenapa ada orang
yang mau menanggung beban hidp orang lain padahal ia bisa bersenang-senang
dengan uangnya sendiri?
Di masyarakat patriarkal seperti ini, kesadaran tentang pernikahan
ditanamkan sebagai semua tentang “menjadi perempuan, menikah, kemudian melayani
keluarga”. Kesadaran ini, lamat-lamat mulai saya rasakan.
Sejak umur 20-an awal, pernikahan sudah menjadi tujuan utama
setelah menyelesaikan studi, dan bekerja nantinya. Tapi saya juga takut, karena
punya mimpi sampai ke antariksa, bagaimana mungkin saya bisa memaknai hidup
kalau cuma menjadi ibu rumah tangga? Meski begitu, saya punya target absurd menikah
usia 25 tahun. Ini juga ikut-ikutan. Karena, secara sosial, teman-teman lain
yang umur segitu sudah beranak dua (Ohya, tentang menjadi ibu rumah tangga,
banyak home-based working yang bisa jadi alternatif, dan ini sudah terbukti
serta efektif dan efisien).
Pernikahan jadi hal absurd dan merupakan tujuan hidup. Saya melupakan
bahwa, setelah pernikahan, kalau masih dikasih umur, ya tetap hidup. Tentu saja
dengan peran sosial yang berbeda, menjadi istri, dan kemudian menjadi ibu, dan
sudah terhitung sensus mejadi 1 keluraga baru yang menambahi beban kependudukan
Indonesia.
Pernikahan ini menjadi krisis paruh baya saya. Karena, saya
tidak mengalami banyak masalah dalam bekerja (Saya belum memikirkan karier),
bersosialisasi, bekerja sosial menjadi relawan, berinteraksi dengan keluarga
inti dan keluarga besar. Hidup saya sangat jauh dari masalah, kecuali tentang hubungan
romantis dan ide pernikahan.
Memiliki teman hidup bersama tentu menyenangkan, tapi, untuk
mencapai kesana, banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi. Menyamakan persepsi
menjadi penting. Semua orang tau kalau ikan saja motif siripnya berbeda,
padahal, perasaan semua ikan sama saja, kan? Apalagi manusia. Tentu tidak ada
manusia yang seratus persen sama, tapi, bukan berarti perbedaan itu tak dicari
lingkaran irisan. Dalam hal ini, belum ada yang se-irisan.
Beberapa waktu berkontemplasi dan memahami tentang diri
sendiri, ekspektasi, dan cara berhubungan dengan orang lain (halah, mantan
maksudnya), saya jadi menemukan beberapa pola yang merugikan baik bagi diri saya
maupun pasangan. Dan, perpisahan memang pilihan yang tepat. Bukan berarti
(hanya) saling benci, tidak cocok, tapi, lebih kepada pengamanan diri sendiri
terhadap orang lain. Tadi sempat disinggung bukan? Perkembangan mental
masing-masing orang berbeda. Nah, apabila hubungan dipaksakan, entah kita menjadi
pembunuh dia, atau kita yang dibunuh. Trek perkembangan mental yang tidak lagi
sinkron menjadi alasan mengapa perpisahan itu harus terjadi.
Lalu, dalam menyikapi krisis paruh baya ini, saya melakukan empat
hal:
1) Curhat dengan orang yang tepat
2) Meditasi dan mendekatkan diri pada Tuhan
3) Menulis dan membaca
4) Bepergian
Keempat hal diatas, ternyata sangat membuat rileks tubuh dan
pikiran. Saya jadi menemukan kembali kepingan-kepingan diri yang hilang. Kadang,
kita menjadi begitu bodoh dan menjadi orang yang kita sendiri tak kenal hanya
karena menyesuaikan dengan keadaan absurd yang entah kemana dibawa pergi.
Kalau krisis perempat-bayamu, apa?
7 komentar:
Tulisan bagus, ijin mengutip. Pertanyaan "Kalau krisis paruh-bayamu, apa?" saya jawab di http://punyagareng.wordpress.com/2014/04/02/saya-gender-usia-tanggung-jawab-dan-krisis-etape-tiga/
Terima kasih
"Bagaimana mungkin saya bisa memaknai hidup kalau cuma menjadi ibu rumah tangga?"
Sekalipun di kalimat selanjutnya ada "...banyak home-based working yang bisa jadi alternatif, dan ini sudah terbukti serta efektif dan efisien" tetep aja kata "cuma" ini terkesan meremehkan Ibu rumah tangga yang tidak punya kegiatan apapun selain mengurus urusan rumah dan anak-anak.
Menurut gue, Ibu Rumah tangga hebat. Apapun yang dia lakukan, menghasilkan uang atau tidak, aktif diluar atau tidak.
Mendidik anak itu susah, Makin cerdas anak, makin susah dididik.
Tolonglah, sekalipun itu untuk dirimu sendiri, jangan ada pikiran tentang "cuma Ibu Rumah tangga" lagi.
Wanita yang mendedikasikan hidupnya untuk mengurusi keluarga disaat ada banyak godaan diluar rumah itu luar biasa. Kata "cuma" mempersempit peranan dan menyepelekan pengorbanannya.
Bob, you don't need to argue with me on that....
Hehe, agak kesenggol juga dengan kata2 cuma ibu rumah tangga, dulu, sebelum mikir mau nikah ya pikiranku gitu sih, tapi setelah punya anak, sumpah aku gak tega ninggalin anakku di rumah sendirian (secara belum punya orang yang momong juga), walaupun toh ada yang momong masih kepikiran aja gitu kalau seandainya aku harus pergi ninggalin anak di rumah, naluri perempuan (macam aku) kali ya, yah tapi setiap perempuan beda2, dan banyak juga kok yang sukses jadi pekerja dan jadi ibu yang ngeramut anaknya :D semoga kamu bisa jadi yang nomer 2 ;)
Kalau aku mbak, nanti pas udah punya anak malah kepengen jadi ibu rumah tangga.
Kalau tulisanku itu lebih ke proyeksi "aku sebelum sekarang dan pengen membanggakan ortu dengan karier". Tapi tentu saja, kita gak bisa menyenangkan semua orang. Makanya, belom dibolehin nikah, mungkin. Haha..... Jadi, setelah puas.. Pas menikah, bisa beralih fungsi :D
Asik-asik...dan aku berharap, apapun pilihanmu, dikau akan tetap asik dengan penuh semangat karena betul, kita tidak bisa menyenangkan semua orang, tapi kita bisa terus mengusahakannya...i love you!
Amiin amiiin amiiin.....
InsyaAllah yang terbaik ya mbaaak...makasi doanyaaa...
I love you too <3
Posting Komentar