Layang-layangku putus.
Ah. Andai saja aku punya dia. Pasti aku bisa
minta uang beberapa kali pun. Tapi ini apa? Aku harus menjualkan layang-layang
milik Robi dulu baru dapat bagian sekian persen untuk membeli layang-layang
baru. Aku benci dia.
“Lisa! Cepat kemari kau, brengsek!”
Sial. Kalau aku tak butuh persenan dari
penjualan layang-layang darinya, aku sudah menghajar mukanya yang kayak tikus
itu.
“Sebentar, aku menggulung benang dulu”
“Kemari sekarang atau kutendang bokongmu!”
Aku menghampirinya sambil tetap menggulung
benang. Layang-layang putus dan benangku tersendat. Sungguh hari yang buruk.
“Kau tau anak di Gang Lima? Namanya Hengki.
Dia tadi meneleponku minta 3 layang-layang ini, kau kasihlah ke dia sekarang.
Nanti kukasih satu untukmu, yang paling jelek” ujarnya sambil mengelap ingus.
Aku menerima layang-layang itu namun sebisa mungkin tak menyentuh tangan bekas
mengelap ingusnya itu. Aku malas tertular penyakit dari anak tikus macam dia.
“Tumben kau baik?”
“Pergi sekarang atau aku berubah pikiran”
Aku berjalan menjauh dari Robi menuju ke Gang
Lima. Disini tak ada yang namanya Gang Kelinci, entah kenapa juga aku membahas
hal itu. Gang di pemukiman ini berdasarkan angka. Satu, dua, tiga, hingga
sepuluh. Ada sekitar 400 kepala keluarga yang tinggal di “Pemukiman Tiga Belas”
ini. Entah kenapa namanya seaneh itu. Aku nggak peduli. Aku pun tinggal disini
karena terpaksa, ikut ibuku. Karena Ayahku entah kemana. Ibuku membesarkanku
seorang diri, dan kebetulan, setelah nenek meninggal, ia dapat warisan.
Dibelilah tanah disini. Sedikit demi sedikit, tanah kami dipasangi beton, batu
kali, semen, lalu kerangka-kerangka besi. Bagaimana aku tau? Aku juga ikut
membangun rumah kami. Meski aku kurus kerempeng begini, aku masih kuat mengangkat
dua ember adukan semen dan mengantarnya pada pak tukang, sehinga kami tak perlu
membayar kuli bangunan lagi. Cukup seorang dan aku. Waktu kami membangun rumah,
hari sangat cerah, bulan April. Ibuku bekerja, sementara aku membangun rumah.
Sebenarnya agak menyedihkan juga, ya. Anak-anak sepertiku di bulan April sibuk
membangun rumah, bukannya main layang-layang. Aku merasa aneh. Tapi biarlah,
toh sekarang rumah sudah jadi, setelah tiga tahun lamanya kami mencicil
membangun rumah. Dan akhirnya, aku juga bisa main layang-layang di bulan April.
“Hengki?”
“Kenapa kau tau namaku? Oh. Itukah
layang-layangku? Wooooow! Cantik-cantik sekali..aih! Makasih loh, ya, manis.
Aku suka sekali. Pasti kau pesuruh Robi, ya? Ah sialan bocah itu, pesuruhnya
manis sekali. Mau nggak kapan-kapan kita main PS bareng?”
“Maaf, aku sedang sibuk. Ini lima ribu rupiah
semuanya”
“Baiklah, kukasih enam ribu, ya, manis. Kau
pasti haus. Sana beli es”
“Thanks”
Menjijikkan sekali. Hengki. Kenapa dia
memanggil-manggilku manis. Penghinaan. Padahal rambutku sudah cepak begini. Aku
nggak suka dipuji manis atau cantik. Lagian, anak itu kan sudah SMA, kenapa
masih main layang-layang.
“Nih, Lima Ribu”
“Gimana dia? Menjijikkan ya? Maksudku,
bencong, gitu ya? Hahahaha”
“Iya”
“Yasudah sana kau pergi, kalau nanti aku butuh
bantuanmu, kupanggil lagi. Nih!”
Robi melemparkanku sebuah layang-layang warna
biru. Cantik sekali. Aku sudah nggak sabar untuk segera memainkannya.
“Thanks” kataku lagi, Robi sudah menjauh
menaiki sepeda gunungnya yang dibelinya dengan uang sendiri. Sebenarnya anak
itu pekerja keras, tapi menyebalkan. Umurnya tiga tahun diatasku. Kami dulu
sekolah bareng, tapi ia dipindahkan karena ternyata ia terkena gangguan mental,
entah apa namanya. Ibuku sudah tau itu, dan mencoba memberitahukan ke orang tua
Robi, tapi malah dimaki-maki sundal. Robi akhirnya pindah sekolah setelah
mendapat pemeriksaan dari psikolog atau semacamnya itu, aku juga tau dari gosip
Tante Firna. Dan ia prihatin kenapa ibuku dikatai sundal, padahal, dia sendiri
yang bilang begitu. Aku tak mengerti dunia orang dewasa, begitu penuh kebencian
dan ketidakjujuran.
Tapi,
Layang-layangku ini cantik sekali.
Aku sampai lupa ini sudah jam lima. Aku harus
pulang. Aku harus memasak nasi karena ibuku sebentar lagi membawakan kami lauk untuk
makan malam.
Jam lima sore adalah waktu yang aku tunggu-tunggu,
selain jam tujuh pagi. Karena itu adalah jam makan. Aku tak dapat jatah makan
siang, tapi tak apa. Toh, ibuku juga lagi kerja di pabrik. Ia tak dapat
mengunjungiku kalau siang. Jam kerjanya selesai pukul lima sore. Aku biasa
kerja sampingan untuk membeli makan siang. Seperti, kerja pada Robi jual
layang-layang, atau pergi ke warung Bibi Mariam untuk mencuci piring. Aku biasa
diupah lima ribu rupiah setelah mencuci piring sebanyak 30 buah. Aku suka
menghitung piring-piring yang kucuci, karena, menurutku mereka menjadi cantik
dan bersih.
“Jadi, gimana harimu, sayang?”
“Bu, berhentilah memanggilku sayang. Nggak lucu.”
“Haha, baiklah, Lis, gimana? Ngapain aja hari
ini?”
“Main layang-layang”
“Kenapa tak sekolah?”
“Aku tak mau, mereka membicarakanmu, membicarakan kita, mereka menagih, nggak kira-kira”
“Gimana nggak kira-kira, sayang? Eh, Lis?”
“Membicarakanmu? Sundal. Membicarakan kita?
Anak haram, Ibu Sundal. Nagih nggak kira-kira? Masa disuruh bayar uang sekolah
lima bulan langsung lunas, uang darimana, Bu? Sudahlah, tak penting. Aku kerja
di Bibi Mariam aja, bisa kok buat hidup kita berdua, Bu”
Ibu tampak senyum mendengarku mengeluh.
Sebenarnya aku tak ingin membuat harinya yang berat menjadi semakin berat. Aku
pernah mengantarkannya makan siang suatu hari, setelah bekerja mencuci piring
dengan upah lebih banyak tiga kali lipat. Aku melihat ibu sama sekali tak
berhenti menggoyangkan kaki dan tangannya sembari tetap duduk di depan mesin
jahit, hampir tidak beristirahat selama delapan jam. Untuk solat dan makan
siang saja, ia harus mengemis-ngemis dulu, kataya waktu itu. Ketika aku muncul dan membawakannya bekal, ia
tampak bahagia sekali dan memelukku sambil mengusap kepalaku dan segera
menyuruhku pulang sebelum dilihat Pak Mandor. Orangnya galak, katanya, dan
nggak suka anak-anak.
“Aku buatin teh, ya. Ibu kali ini mau manis
apa tetap tawar?”
“Manis aja, ibu mau mandi lalu minum teh buatanmu, Lis. Nanti kita omongin lagi masalah ini ya. Ibu akan pikirin. Oya, Lis. Ibu tadi beliin kamu ini”
Aku mendelik melihat dua buah kutang kecil
yang disodorkannya kepadaku.
“IBU! APA INI??!!”
Ia tertawa dan beringsut ke kamar mandi.
“Kau harus pakai mulai besok. Ini perintah,
sayang. Tidak ada tapi-tapian lagi. Demi kebaikanmu”
Aku pikir, aku akan memainkan layang-layang
warna biruku dengan kutang kecil itu, mulai besok pagi.
Sial.
0 komentar:
Posting Komentar