Dari lantai 9 gedung ini, aku bisa melihat senja
bergelayutan, terombang-ambing.
Mungkin ia bimbang.
Sinar oranye-nya, tak merata, di sela timur agak putih dan
semburat merah, di sela barat, merahnya menyala seperti Hutan Kalimantan yang
terkena kobaran pembalak liar.
“Kenapa kau tau hutan Kalimantan begitu, memangnya kau
pernah tinggal di sana?”
“Liat di berita,” kataku.
“Kenapa kau bilang senja bimbang? Memangnya dia punya
perasaan?” tanyanya lagi.
“Memangnya apa yang tidak punya perasaan? Henponmu aja perlu
diperlakukan dengan lembut, kan?” cetusku.
Ia terdiam. Benar juga, gumamnya. Lalu aku meneruskan menulis puisi tentang senja yang bergelayutan. Tapi aku tak ingin siapapun mengetahuinya. Ini adalah kisah senjaku dengannya. Ia cukup tau saja judulnya, tidak perlu isinya.
Ia terdiam. Benar juga, gumamnya. Lalu aku meneruskan menulis puisi tentang senja yang bergelayutan. Tapi aku tak ingin siapapun mengetahuinya. Ini adalah kisah senjaku dengannya. Ia cukup tau saja judulnya, tidak perlu isinya.
0 komentar:
Posting Komentar