Minggu, 10 Maret 2013

Menggapai Sekolah Gratis: Dicegat Korupsi dari jempol sampai ubun-ubun








.......ketika Pemerintah sibuk dengan kampanye “Sekolah Gratis” nya, masih banyak anak-anak yang tidak memiliki akses pendidikan. -- Shei Latiefah







Ini merupakan temuan-temuan di lapangan yang menyatakan bahwa, akses pendidikan tak merata menyebabkan masih banyaknya anak-anak putus sekolah. Tidak hanya tentang korupsi-korupsi yang dilakukan oleh oknum pelaksana sekolah (baca ini), namun, ini juga masalah tentang akses mendapat pendidikan tersebut, sebut saja, anak-anak pengamen yang tak punya akta lahir.

Hal-hal administratif seperti ini terkesan sepele dan wajib untuk dijalankan, memang sih, namun, kenyataannya tidak gampang. Banyak sekali pungutan-pungutan liar yang mendarahdaging. Contoh kasus tahun 2013, di Ciamis, sebut saja A (9 tahun) dan B (8 tahun) yang merupakan anak korban kekerasan rumah tangga. Mereka ingin sekolah tapi tak punya Akta Lahir. Ibunya (yang merupakan orang tua satu-satunya) harus mengurus Kartu Tanda Pengenal (KTP), Kartu Keluarga (KK) hingga Akta Lahir anak-anaknya ke kampung tanpa suami (karena kasus KDRT tadi. Untuk mengurus printhil-printhilan supaya bisa bersekolah saja, harus setengah mati, setengah hidup. Pertama, mekanisme pembuatan surat-surat administratif yang memakan waktu atau biaya. Iya. Kadang-kadang memang ada diskriminasi dari waktu dalam pembuatan surat-surat administratif tersebut. Jika ingin berpacu dengan waktu, maka, anda dipersilakan untuk meletakkan amplop yang telah terisi di bawah meja petugas. Kedua, setelah berhasil keluar dari sistem administratif yang korup, anda akan dicegat oleh sistem pendidikan yang korup pula. Tak jarang ada biaya-biaya ajaib yang muncul dan dibebankan pada siswa-siswa yang sekolahnya sudah menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), jumlahnya hingga Milaran. Padahal, dana BOS untuk  tahun 2012 Rp.23,6 Triliyun (baca ini). Ketiga, jelas-jelas sekolah gratis kemudian tidak efektif dan merupakan pencitraan tercela. Ini mengorbankan waktu dan nasib anak-anak bangsa yang memang membutuhkan akses pendidikan.

Saya dan teman-teman dari SaveStreet Child merasa prihatin dan sedih, bagaimana mungkin anggaran trilyunan rupiah yang dialokasikan untuk pendidikan bisa tak efektif? Kami yang cuma bisa beri Rp.200.000 per triwulan untuk 6 (enam) kelas belajar di Jakarta, Depok, Tangerang, saja diwajibkan untuk dimanfaatkan secara baik, demi kemaslahatan siswa-siswa yang berjumlah total sekitar 120 siswa tersebut.

Ketimpangan-ketimpangan inilah yang membuat masyarakat menjadi apriori dan memilih untuk mengambil sikap entah dengan sistem alternatif seperti homeschooling atau menyelenggarakan kelas informal seperti Save Street Child ini.

Kreatif? Iya. Namun, sampai kapan anak-anak tersebut menjadi tak jelas nasibnya? Bukankah pendidikan merupakan hak? Mengapa menjadi komoditas politik yang digadang-gadang hanya ketika menjelang pilgup-pilpres-dan pil-pil lainnya :(
Disclaimer: Saya menulis di sini bukan berarti menjadi orang yang paling tahu tentang sistem, tidak sama sekali, malah. Maka dari itu, tulisan ini hanya sekedar refleksi berdasarkan temuan-temuan di lapangan mengenai kinerja sistem tersebut.
- Foto diambil dari sini

3 komentar:

Ketika aq ingin berteriak "Pendidikan adalah hak setiap warga negara", saya jadi malu... salut untuk km! Ingin sekali bisa membantu menggapai mimpi anak-anak Indonesia.

Semoga semakin banyak Shei Latiefah yg lain yg peduli terhadap Pendidikan Bangsa ini,.... untuk saya sendiri bahwa mandulnya pendidikan bangsa ini tidak melulu karna kesalahan pemerintah karena yang terparah adalah mereka yang hanya bisa mengumpat tapi tidak berbuat apa-apa sama sekali untuk Indonesia yang Lebih Baik.
Semangat terus Sista! Semangat terus Save Street Child!

@ Danang: terima kasiihh...mohon doa dan dukungannya *kayak capres nih*

@ Cak Oyong:
Amiiiinnnn doain ka semoga istiqomah

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More