Menerima Penghargaan Tupperware She can Award 2013

Tupperware SheCAN! Award 2013, penghargaan untuk 89 orang yang menginspirasi Indonesia dengan karya-karya sosial mereka

Menerima Penghargaan Indi Women Award 2013

21 Perempuan Inspiratif Menerima pengharagaan "Indi Women Award" dari PT. Telkom Indonesia, dihadiri oleh Ibu Linda Gumelar, Menteri Peranan Wanita. Bagian saya, Socio Activist untuk Save Street Child

Crowd Funding Projects

Kita bisa keroyok project-project sosial ini bersama-sama untuk masa depan yang lebih baik. Gabung sekarang! ^^

Bersama Sarah Sechan dan Keluarga Save Street Child

Talk Show di NET TV bersama Sarah Sechan. Adik-adik ternyata sudah berbakat sebelum ditraining jadi host TV!

Kumpulan Puisi

Kumpulan puisi-puisi karya sendiri atau saduran dapat dibaca disini

Selasa, 16 Juli 2013

Inalillahi, Almira Telah Pulang



Saya belum pernah bertemu secara langsung dengan bayi cantik ini, tapi saya percaya, dia malaikat kecil dari langit yang diturunkan untuk mengajari kita sesuatu: ketangguhan hidup, cinta, pengabdian dan kepasrahan pada Sang Pencipta. 

Betapa tidak,
Di usia yang baru 10 bulan, Almira begitu tabah menghadapi Leukimia dan infeksi yang menyerang tubuhnya hingga mengakibatkan lehernya bolong dan kulitnya luka-luka. Membaca teks ini saja saya miris, membayangkan menjadi ibunya bagaimana ya? Ternyata ibunya juga masih seumuran saya.
Saya membaca tulisan Mbak Azza tentang Almira dan langsung bereaksi untuk menyebarkan berita ini. Tapi saya juga tak terlalu tahu, bagaimana fundraising yang kami lakukan, apapun usaha kecil ini semata bentuk cinta untuk Almira. Rekening yang terpampang juga milik Ibunya langsung, jadi Bismillah, semoga saja memang cukup menutup pembiayaan.

Seminggu setelah blog itu diposting oleh Mbak Azza, Sahabat saya, Bang Iis (dia ini cewek tapi kelakuan mirip cowok) melesat ke Bandung dengan uang pas-pasannya. Ternyata belum berjodoh, Almira sedang tidak boleh ditemui. Bang Iis ngobrol dengan ibunya Almira yang tentu saja lebih muda darinya karena usianya sebaya dengan saya. “Nanti kalau mau jenguk lagi, yang di CIkampek aja, Mbak… lebih dekat kan dari Jakarta”, ujar Ibunya waktu itu, Bang Iis mengangguk, saya bersemangat. Menunggu Almira dipindahkan ke Cikampek. Dari segi waktu, sangat tidak memungkinkan bagi saya untuk ke Bandung saat itu, banyak kejar setoran.

Mungkin sudah lebih dari satu bulan sejak saya dengar kabar tentang Almira dari blog Mbak Azza. Rekan saya di Bandung (yang belum pernah ketemu), Neng Nadya, sering DM saya minta doa buat Almira setelah koma dua hari. Ah, little girl…. We really love you.

Sore itu saya sangat kepikiran tentang Almira. Membayangkan gimana keadaan ibunya yang ditinggal koma buah hatinya selama dua hari. Duh. If only I could shift my position with her, I would. Setelah solat Ashar, saya curhat ke Tuhan: “Ya Allah….sembuhkanlah Almira….atau peluklah ia dalam damai…”.

Doa yang sederhana.

Magrib.
Ketika saya baru membuka bungkus es melon dingin untuk takjil, saya melihat twit Mbak Azza

“Innalillahi wainnailaihiraji'un... Telah kembali ke pelukan Pencipta, Almira. Bayi 10 bln penderita Leukimia. Bahagia di sana, Nak.”




Saya senyum. Sedih sih engga. Malah bahagia. Almira akhirnya dipelukMu Ya Allah. Almira sudah sembuh. Seperti kisah Lili. Betapa aku mencintai anak-anak pejuang itu :”)
Kematian membuat saya sadar bahwa dunia ini benar-benar sementara. Dan hidup pada trek yang benar, sesuai panggilan jiwa dan tujuan hidup merupakan keniscayaan. 

Masih suka mengeluh?

Berbuatlah sesuatu sekarang. Buka hati. Rasakan. Dunia membutuhkanmu.

Gallery of Almira

Gambar 1: Iiih..ngintip-ngintip...cute banget kan Almira

 Gambar 2: Bermanja dengan Nenek

Gambar 3: Almira Mimik Cucu ^^

Gambar 4: Almira berpose dengan topinya

Photo courtesy of Blog Mbak Azza ,twitter Mbak Azza
and Bang iis.

Perjalanan, Cerita Tentang Rumah dan Hidup Bahagia



Kesamber Gledek
Hari itu saya terkejut setengah mati setelah ditelepon oleh Ibu Maryam, yang punya kontrakan di Depok, tempat basecamp Save Street Child. Ia ingin mengakhiri kontrak rumah yang biasa kami gunakan sebagai pusat segala kegiatan Save Street Child tersebut. Apa boleh buat. Kami harus pindah sebelum pertengahan bulan, alasannya? Karena Bu Maryam ingin menempati rumah tersebut. Meski itu bukan alasan utama, karena sebelumnya ia bilang akan menempati rumah sebelah, bukan rumah kami. Beberapa kali saya sempat dikomplain karena basecamp begitu kotor, rusak, dan tidak ada yang memperhatikan, bahkan pintu sering terbuka sendiri. Saya yang sudah tak tinggal disana tentu saja bingung, apalagi beliau juga bilang bahwa 3 bulan listrik tak dibayar. Sudah hampir mau diputus permanen oleh PLN (katanya). Padahal kami sudah serahkan pengurusan basecamp pada beberap orang yang tinggal di sana, tapi ada yang mengecewakan dan membuat kami semua repot. Uang listrik juga sudah diamanahkan, tapi ternyata amanahnya tak sampai. Entah bagaimana bilangnya, bahkan ia juga sudah pindah ke tempat lain tanpa pamit. Kami pun tak dapat menjelaskan apa-apa ke empunya kontrakan ^^. Jadilah, kami harus pindah, tanpa ada tawar menawar lagi. Hati begitu gelisah. Karena dalam tempo seminggu dan hanya ada waktu luang di hari Sabtu-Minggu, bagaimana bisa langsung bisa pindah? Tapi Allah berkehendak lain.

Awal Mula
Kontrakan itu kami gunakan untuk basecamp dengan berjuta rupa barang-barang ajaib yang dibutuhkan oleh anak-anak. Selain untuk tempat menyimpan barang, tempat untuk tidur dan shelter sementara anak-anak yang butuh sekolah, basecamp juga dibuat untuk perpustakaan gratis dan kelas belajar #KelasKpManggah yang dipimpin Ibu Suri Talitha.

Sudah hampir satu tahun saya tinggal disana bersama  teman-teman yang lain. Kami merawat anak-anak dan menyekolahkan mereka. Pernah sampai sepuluh anak, datang dan pergi, tapi kami senang hati menerima mereka. Sampai pada akhirnya, mereka memutuskan untuk kembali ke keluarga mereka, dan hanya tinggal seorang-dua. Tapi begitulah kami bekerja. Pernah ada seorang kru Televisi yang baru bertemu saya sekali dan sudah mengamanahkan dua orang anak korban KDRT kelahiran Malaysia. Hingga saat ini, anak-anak tersebut masih dalam kontrol kami, meski sudah ada yang di Yayasan Rumah Yatim dan ada yang mau nyantri. Bagi kami, anak adalah titipan. Sesiapa yang tak bisa lagi dititipi, boleh dialihkan, demi masa depan si anak. Berlaku untuk orang tua zalim yang tidak bisa adil mengasihi dan mengasuh anaknya.

Terpaksa,
Karena sekarang saya sudah kerja dan tinggal di daerah terpencil di Kebon Jeruk, anak-anak harus ngungsi. Beruntung, ada yayasan yang mau mengasihi mereka dan bisa dititipi. Jadi, tidak ada tanggungan lagi. Tapi, tetap saja, Basecamp itu menyimpan banyak fungsi dan cerita.

Perpus Gratis, Kelas Gratis, Shelter Gratis
Kami merasa sangat beruntung karena Basecamp Save Street Child berfungsi banyak, harga terjangkau dan aksesnya lumayan mudah. Bentuknya seperti rumah biasa, dengan tiga kamar, satu dapur, satu kamar mandi, halaman juga ada jadi anak-anak bisa bermain dan bergelayutan di pohon dekat pagar yang membatasi daerah rumah kami dengan rumah yang lain.

Dalam basecamp itu, kelas belajar berlangsung empat hari seminggu. Ada kelas Bintang kecil (Usia PAUD-TK), Kelas Bintang Kejora (Usia SD 1,2,3), Kelas Bulan (Usia SD 4,5,6) dan Kelas Matahari (Usia SMP). Kami melayani kelas belajar untuk anak-anak di sekitar yang mayoritas berasal dari keluarga menengah kebawah secara ekonomi. Tugas utama kami adalah menyediakan pusat belajar yang dapat mengalihkan perhatian mereka dari aktivitas yang tak mendidik. Selain itu, seperti program “Kelas Belajar Save Street Child” lainnya, kami juga sering mengajak anak-anak perserta belajar untuk bertamasya secara edukatif. Ini sangat disambut baik oleh orang tua mereka.

Selain kelas belajar, kami juga menyelenggarakan perpustakaan gratis yang berbasis kejujuran. Perpustakaan itu terbuka, dan anak-anak boleh pinjam, dan mereka yang mencatat sendiri di kertas form yang sudah disiapkan. Buku-buku tersebut boleh dipinjam dan dikembalikan sesuai jadwal.
Fungsi utama basecamp adalah tempat tinggal saya tentunya dan anak-anak juga beberapa teman. Karena ada 3 kamar, cukup banyak manusia yang bisa tinggal di sana. Datang dan pergi. Itu sudah biasa. Patah hati berkali-kali, sudah biasa. Bagi saya, kehilangan anak-anak itu lebih-lebih sakit daripada putus cinta. Karena saya begitu mencintai mereka. Saya banyak belajar dari mereka.

Bumpy Road. Ah Life.
Sejak 2010, saya sudah mulai membiarkan anak-anak menggunakan kos di Mampang, Jakarta Selatan, sebagai shelter untuk mandi, makan, dan tidur. Ada dua anak awalnya, kemudian bertambah hinggal 2011, mereka ingin sekolah. Saya memutuskan untuk pindah ke Depok supaya anak-anak bisa bersekolah di Sekolah Master, Terminal Depok (yang saat ini sedang kritis hendak digusur itu). Bersama rekan saya, kami merawat mereka dengan kasih sayang. Dari rumah petak, akhirnya pindah ke rumah yang lebih layak untuk dihuni 11 orang. Basecamp SSC lah tempat kami berbagi lapar, canda, tawa dan air mata. Begitu banyak cerita di sana.

Alhamdulilah,
Dipertemukan dengan basecamp SSC tahun 2011, dengan biaya sewa yang tak jauh berbeda dari rumah petak kami awalnya, akhirnya kami putuskan pindah. Kenapa? Kami dikomplain oleh tetangga. Kami? Tentu saja saya yang dimaki-maki. Anak-anak hanyalah anak-anak, mereka tidak sadar bahwa energi mereka ternyata merugikan tetangga. 

“Ngasuh gelandangan sih boleh, tapi itu kok nggak mikir brisik banget…. Mau baik tapi kok ngga punya otak”. Kira-kira begitulah makian yang sering saya dengar. Awalnya nangis Bombay. Berasa ibu-ibu beranak banyak yang tidak becus mengurusi. Lama-lama kebal, berkat dukungan Mama dan teman-teman. Anak-anak juga sudah bisa diatur. Mereka boleh berlebihan melampiaskan energi pada jam setelah tidur siang. Yang saya tekankan pada anak-anak adalah menjaga harga diri mereka. Mereka boleh ditegur jika mereka salah, tapi mereka tidak boleh membiarkan diri mereka dihina karena mereka berbeda dari anak-anak kebanyakan. Anak-anak paham, dan mereka hidup normal, meski kadang kelebihan energi nya masih merepotkan. Hihi…..

Bisa dibayangkan ya, bagaimana seorang mahasiswa dengan uang pas-pasan hidup bersama sepuluh orang sebagai keluarga besar. Awalnya memang subsidi dari diri sendiri (kiriman uang orang tua), lama kelamaan, ada donatur, itu yang meringankan kami. Pernah suatu kali, kami hanya punya uang Rp,25.000 dan harus makan 3 kali sehari untuk 11 orang. Mau tak mau, suka tak suka, makan seadanya. Dan Alhamdulilah cukup. 

Mengalami kejadian-kejadian luar biasa bahkan sebelum membina rumah tangga sendiri membuat saya terlihat sepuluh tahun lebih tua. Jadi jangan kaget jika omongan dan muka saya memang terkesan tua hihi….

Saya cuma tersenyum kalau ada orang-orang mengeluhkan kesulitan hidup mereka. Saya pun pernah mengalami, bisik hati saya. Tapi, itulah tantangan seorang hamba, jika diberi cobaan akankah mengeluh atau malah bersyukur. Saya juga kadang mengeluh, manusiawi. Tapi, sadar bahwa, keluhan-keluhan itu malah membuang energi baik dan tidak memberikan solusi apapun. Akhirnya, bersyukur dan memilih bahagia.

Rumah Baru: Taman Siswa SSC
Flashback dari tahun ke tahun ternyata cukup menyita memori. Betapa banyak cerita-cerita yang terjadi. Save Street Child dan kehidupan saya tidak pernah terpisah. Selalu bersinergi. Sehingga sulit membedakan mana hal yang seharusnya personal, mana yang menyangkut organisasi. Bisa dipastikan, kehidupan sosial saya bersama teman-teman sebaya sangat payah. Karena Senin-Jumat saya harus bekerja di daerah terpelosok, dan Sabtu-Minggu saya bahagia menjadi pelayan, sesekali ambil cuti untuk ke luar kota atau sekedar jalan-jalan. Apa boleh buat. Ini hidup yang saya pilih. Daripada mengeluh, saya memilih untuk menjalaninya dan berbahagia (belum lagi kalau ada jadwal interview dengan rekan-rekan media cetak maupun televisi). Lucu. Tapi, memang itulah hidup. 

Sekarang?
Kami menemukan rumah baru, meski tak sebesar yang dulu. Dengan biaya lebih murah, rumah tersebut kami namai “Taman Siswa SSC”. Meski anak muda, kami ini romantis, kami suka hal-hal yang kuno. Taman Siswa mengingatkan kami akan cikal bakal sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Mila yang memulai, kami mengamini.

“Taman Siswa SSC” ini sederhana. Hanya ada dua sekat kamar, kamar mandi, dan halaman mungil. Tapi entah kenapa, saya mencintai rumah ini sejak pertama ketemu.
Letaknya tak jauh dari Basecamp SSC yang lama, satu gang lebih awal, meski tak ada tempat untuk parkir mobil. Tapi kami bahagia. Kami menemukan rumah itu setelah tiga jam melanglang di sekitaran Depok. Begitu nemu, langsung dibayar, langsung pindahan. Bahkan tanpa sewa pick-up maupun truk. Teman-teman sangat kreatif dan tanpa modal. Mereka meminjam gerobak pemulung yang tetanggan sama kami.
Bersyukur sekali.
Awalnya saya pikir isu pindahan ini sangat memakan energi dan waktu, ternyata sangat salah. Sampai pukul  5 sore kami selesai drop barang di rumah baru, kami menyiapkan buka bersama adik-adik #KelasKpManggah. Menyenangkan! Betapa hari itu barokah.
Ini adalah tulisan blog terpanjang yang pernah saya buat. Dan tulisan ini akan saya rekomendasikan pada teman-teman wartawan yang ingin mengetahui bagaimana perjalanan hidup tentang anak-anak dan Save Street Child dalam skup kecil. Hihi….

Terima kasih sudah membaca.
Saat ini, yang hanya bisa kita rasakan adalah kebahagiaan. Karena semua itu sudah terjadi. Hanya bisa senyum. Melihat ke belakang, betapa bodoh kita, betapa suka marah-marah, makin hari makin dewasa, makin hari makin ngerti. Ah. Life.

 Gallery

 Gambar 1: Ribuan rupa barang-barang yang harus diangkut

 Gambar 2: Kru bekerja sambil setengah pusing

 Gambar 3: Mila dan Rak Buku kami yang harus ditinggal. Ini buatan Ayahku :")

Gambar 4: Kru masih sempat rapat Hari Anak SSC ditengah kesibukan pindahan

 Gambar 5: Berpose bersama di depan rumah baru "Taman Siswa SSC"

Gambar 6: Berbuka puasa bersama setelah pindahan bareng adik2 #KelasKpManggah


Gambar 8: Keluarga besar yang bahagia


Gambar 9: Adit, satu-satunya anak yang tersisa dari 10 anak. Sekarang dia di Pesantren Master



Gambar 10: Endang, Saipul dan Ondet. Anak Malaysia. Masih dibawah pengawasan kami









Jumat, 12 Juli 2013

Yayasan Ponpes “Mambaul Hidayah” Butuh Bantuan!




Halo!
Terima kasih sudah menyempatkan membaca blog saya lagi ^^
Hari ini, cuaca agak sedikit mendung dari Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Tapi hati saya secerah mentari pagi. Ini karena semangat untuk mulai menulis lagi. Sudah tau kan lama terbaru di web ini? Baru aja tadi saya luncurkan “Crowd Funding Project”. Laman ini nantinya berisi project-project sosial yang bisa kita keroyok bareng-bareng. Sesi kali ini, saya akan mengenalkan Yayasan Ponpes “Mambaul Hidayah” yang juga membawahi Panti Sosial “Nurul Jannah”


Yayasan Sederhana Yang Luar Biasa Itu 

Perkenalan dengan Yayasan ini sifatnya hanya sekedar maya, tapi saya tahu, Yayasan ini nyata adanya. Bukankah, media hanyalah kanal yang mempermudah komunikasi? Maka tidak perlu berpraduga, ada baiknya kita yakinkan hati dengan niat baik sehingga dalam proses pengujian kebenaran itu tidak menyakiti pihak lain yang dapat menimbulkan fitnah. Tugas kita kan menyebarkan kebaikan, bukan kebencian. Maka seyogyanya caranya pun harus baik.
Darimana saya mengenal Yayasan ini? Dari Akun @MerakDjenar (awalnya), sekarang dia berganti nama menjadi @ArfakhsyadDymas. Saya awal mengenalnya dari Gus @CandraMalik, kami dikenalkan lebih tepatnya karena punya kesenangan yang sama: bergaul dengan anak-anak. Dia mengurusi anak-anak yatim, saya (katanya) anak-anak jalanan. Padahal saya cuma senang main bareng mereka aja, ngga begitu mengurusi seperti yang dilakukan Abah Dymas ini (entah kenapa saya jadi manggil dia Abah, Wallahu ‘alam hihihi).

Setelah saya tanyai, tentang Yayasan yang dikelolanya. Abah menceritakan hal yang panjang dan lebar. Katanya, Yayasan tadi awalnya berdiri utk keperluan pendidikan saja, misal pesantren, diniyah dan Taman Pendidikan Al-Qur’an. Lalu Alm. Abahnya, Kyai Janur ( Edy Al Habsy) punya gagasan untuk membuatnya menjadi Panti Asuhan karena banyak sekali kejadian bayi-bayi dibuang dan anak-anak putus sekolah di sekitar. Dengan modal niat, Abahnya bisa membeli sebidang tanah di barat desa yg lebih dekat rumah Abah Dymas. Dibangunlah Panti Asuhan “Nurul Jannah” dibawah naungan “Mambaul Hidayah”.
Dimanakah letaknya?
Ternyata di sebuah daerah di Jawa Timur, tepatnya di Jalan Umbul sari Gang 1 No.3, Paleran- Umbulsari, Jember. Nomor telepon 0331- 7854560.

Abah Dymas Pengganti Abahnya: Ruh yang Sama

“Sekarang saya yang jadi Pelindung sekaligus Penanggung jawab, Mbak” ujar Abah Dymas melalui pesan singkat kepada saya. Di akta, Ketua Yayasan tetap nama Abahnya, sebab biaya ganti Akta Mahal. Itu yang menjadi kendala dalam pengurusan administrasi berikutnya. Nomor Rekening menjadi Rekening sendiri, karena jika ingin mengajukan rekening Yayasan harus dengan tanda tangan Abahnya yang kini sudah almrahum.

Menjadi penanggungjawab tidak hanya berhenti dalam proses administrasi, tapi juga fundraising, mengajar mengaji anak-anak dan lansia. “Iya Mbak, kan bayar Ustad dan Ustadzah agak terbatas dananya, jadi saya juga bantu-bantu.” Jelasnya.  Dengan dana terbatas dari yayasan, Ustad dan Ustadzah yang mengajari anak-anak tentu tak banyak. Ada 400 orang lebih warga di Yayasan yang harus dicukupi kebutuhannya dan juga 46 orang Ustad dan Ustadzah yang harus digaji 275 ribu perbulan. Para guru ngaji juga mengerti keadaan ekonomi Yayasan sehingga mereka juga rela biarpun tak digaji, tapi Abah Dymas tidak mau zalim, ia tetap ingin memberikan hak guru-guru ngaji tersebut. “Mereka kan punya tanggungan keluarga untuk dihidupi, Mbak. Jadi harus diberikan haknya”.  Dari awal Yayasan tersebut berdiri dengan mengasuh hanya 30an anak, saat ini melonjak drastis menjadi 400-an warga (anak dan lansia) dikarenakan berdirinya Panti Sosial tadi. “Anak-anak dulu cukup makan dari hasil penjualan di toko, sawah dan bisnis peternakan ikan, kambing, dll. Sekarang kurang karena warganya nambah”, ujarnya.

Tidak disangka, like father like son, sepeninggal Abahnya pada Desember 2007, Abah Dymas malah ingin melakukan pengembangan Yayasan. “Sampai sekarang ada dua rumah asuh yg namanya “Nurul Islah” (dan “Klonjen”, red) ada di selatan desa. Tapi ya itu konsekwensi nya adalah, begitu bangunan jadi, ongkos dan biaya makan harus benar-benar ngirit.”

Tidak berhenti disitu ternyata, jalanan terjal lain ia trabas.  Abah Dymas membuat lagi Panti Asuhan di Klojen, Lumajang yang menampung 149 anak. Sayang sekali, Panti tersebut harus kolaps karena tidak ada biaya sewa. “Anak-anak diusir soalnya kita gak punya uang sewa, Mbak. November kemarin, panti ini bubar.” Jelasnya. Ini dikarenakan, makin hari 2 rumah asuh ini makin banyak penghuninya. Rumah ini menjadi harapan lain dari yayasan rekanan  di Probolinggo yang kolaps karena tidak ada biaya. “Bahkan, yayasan itu sempat ditipu pegawai desa setempat, Mbak. Sudah mandeg tidak  ada donasi, kena tipu lagi”. 


Anak-Anak: Harapan, Kenyataan dan Kenangan

Karena setiap harinya dikelilingi anak-anak, tentu saja Abah Dymas merindukan mereka ketika 150-an anak dari Klojen sudah tak bersamanya lagi. “Meski udah ngga sama anak-anak,tapi tiap bulan kita cukupi kebutuhan mereka, Mbak. Mereka kan kembali ke orang tua/ wali masing-masing, Tiap bulan kami sediakan 25 kg beras per anak, uang jajan 2 ribu per hari dan SPP, Baju, Buku. Intinya anak-anak hanya pindah tidur, tapi tidak pindah tanggungan.”

Abah Dymas menambahkan, “Sekarang bahkan kita sudah punya usaha kecil-kecilan untuk sekedar uang saku. Kita bisnis kerupuk ikan tengiri dengan penanggungjawab Ustadz Sulaiman dan Ibu Solichah. Selain itu, Abah Dymas sekarang sudah bisa mengaktifkan kegiatan penggalangan dana melalui twitter. “Saya kapok bikin proposal. Almarhum Abah pernah pesan ‘jangan buat proposal, mintalah pada yang mau membantu saja’  Tapi saya langgar, akhirnya? Saya ditipu 4 orang yang menggelapkan uang hasil proposal tersebut. Sejak saat itu saya kapok.”

Perjalanan Abah Dymas dalam mengasuh Yayasan “Mambaul Hidayah” memang berliku. Tapi, perjuanganya dan rekan-rekannya itu tidak sia-sia, tentu saja. Itu sudah tersurat. Tapi, yang membuat bahagia hati adalah ketika melihat anak-anak yang dulunya rewel, sekarang sudah menjadi mahasiswa. “Ada yg sudah kuliah di malang, di Universitas Tribuana Tungga Dewi. Namanya Wisnu, dia emang pinter. Aku diberi beasiswa teman yg jadi dekan disana. Terus ada 38 orang  yang sudah nyantri di beberapa pondok bergengsi di Jawa Timur, seperti: YAPI Bangil dan Nurul Jadid, Probolinggo.” Jelasnya. Abah Dymas juga menceritakan prestasi-prestasi lain dari anak-anak luar biasa tadi “Si Syamsul Arifin kemaren menang lomba batsul kutub (debat kitab) antar pesantren se-Jawa Bali.

Luar biasa sekali ya….

Bantu Yayasan Ini Untuk Terus Maju Demi Anak-Anak

Seperti tujuan awal dibuatnya laman ini, kita bisa keroyokan membantu Yayasan “Mambaul Hidayah” supaya terus maju dan menelurkan generasi-generasi yang baik untuk bangsa ini. Kemurahan hati kita sangat berarti bagi kelangsungan pendidikan dan hidup anak-anak itu.
Bagaimana Caranya?
1) Donasikan dana anda melalui BCA Balung Jember a.n. Haidar Raditia Al Maliki 8910298926.
2) Kumpulkan koin-koin di rumah bersama teman, saudara, lalu serahkan kepada Abah Dymas.
3) Bagikan berita ke teman-teman melalui akun sosial media anda.
4) Doakan semoga project  ini lancar dan barokah.
Bismillah. Selesai sudah tugas manusia. Semestalah yang akan bekerja sesuai RidhoNya.
Terima kasih sudah membaca ^^

Salam Sayang,

Shei Latiefah


Galeri Keceriaan Yayasan Mambaul Hidayah


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More