Minggu, 12 Oktober 2014

Cerita Hijrah #1: Keranjang Cucian


Sudah 103 hari kiranya saya berhijrah, saya sekarang memakai hijab (alhamdulillah). Ini adalah upaya untuk mematuhi perintahNya dan menunjukkan rasa syukur dan cinta saya padaNya. Nah, Cerita Hijrah ini adalah sebuah catatan kecil dari saya untuk teman-teman semua tentang bagaimana saya menjalani hidup setelah resmi berhijrah. Dalam edisi perdana Cerita Hijrah ini, saya akan berbagi soal “keranjang cucian”.

Sebelum berhijab, saya adalah penggemar celana pendek, kaos ketat, tanktop, dan baju-baju mini lainnya. Bukan apa-apa, saya ini orang yang sangat malas dan gerah-an! Seriously. Menurut saya, hidup di iklim tropis seperti Indonesia ini sungguh tak manusiawi kalau harus memakai baju-baju yang bikin gerah. Sebagai anak yang mencintai pantai, saya pun setia banget sama baju-baju terbuka yang bisa menangkan angin melalui kulit. Pori-pori yang, meski kecil tapi sangat berguna, dalam kulit, memang sudah seharusnya menangkap kesejukan angin dan mengalirkannya ke seluruh penjuru tubuh. Saya jadi kerasan dengan baju tipe-tipe begitu.

Ketika akhir pekan datang, sebagai anak kosan, tentu satu hari dalam dua hari libur didedikasikan untuk “hari bebersih sedunia”. Entah bebersih diri, kamar kosan, atau hal-hal lain yang terlantar setelah lima hari ditinggal kerja. Sepertinya, hari-hari memang ketat sekali, ya? Susah rasanya brsenang-senang selalu tanpa diburu-buru deadline.

Keranjang cucian saya tak pernah terlalu penuh dengan baju-baju berat kecuali celana jeans yang dicuci setiap dua minggu sekali. Baju kantor juga tak begitu berat, kadang hanya midi-dress, paling banter blazer, atau celana hitam panjang yang dipadukan dengan kemeja tipis-tipis yang anti-gerah. Kadang, kalau tak sempat mencuci sendiri, karena kadang lembur,saya menyerahkan keranjang cucian ke tukang cuci langganan. Senang sekali, tak pernah bengkak bayar cucian, karena memang baju saya tipis-tipis.

Beberapa bulan lalu, saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan menjalani hidup sebagai anak rumahan karena beberapa alasan. Dan, ternyata, alasan utama yang tak disangka-sangka adalah, saya berlatih menjaid ibu rumah tangga. Tak lama ketika saya memutuskan untuk berhijrah (baik secara domisili maupun spiritual), saya dilamar. Beberapa bulan ke depan sejak hari ini, saya menyibukkan diri dengan perencanaan pernikahan bersama keluarga saya dan calon suami.

Balik lagi ke keranjang cucian.

Kali ini tentu saja saya mencuci sendiri.

Dan, alamak!

Bisa dibayangkan? Pakaian tipis-tipis saya sudah berpindah tangan, dan kali ini, saya harus mencuci pakaian kelas berat termasuk gamis-gamis katun, rok lebar, dan aneka baju yang diklasifikasikan sesuai fungsi: baju untuk keluar, baju untuk salat, baju untuk tidur. Sekarang, saya menjadi super hati-hati karena memang, baju itu sangat rentan terkena najis. Baju yang terkena najis, tak bisa dipergunakan untuk salat. Jadilah, baju bertumpuk-tumpuk. Keranjang cucian selalu penuh. Tak hanya baju sendiri, kali ini, baju orang serumah ya harus dicuci juga. Sejak dulu selama ayah-mama saya berumah tangga, tak pernah sekalipun kami mempekerjakan pembantu.

Setiap kali mencuci, saya harus berhadapan dengan tumpukan baju yang banyaknya sekitar 2 kali lipat dari tabung mesin cuci. Oh ya, saya pakai mesin cuci. Tapi, karena sangat perfeksionis, saya kadang mengucek ulang pakaian yang kira-kira memang dipakai untuk aktivitas luar ruangan, dan tentu saja celana dalam dan bra. Ada beberapa adab dalam Islam untuk mencuci pakaian supaya bebas najis. Ini yang membuat “adegan” mencuci ini menjadi semakin dramatis dan cenderung lama. Saya biasa menghabiskan 2 hingga 3 jam untuk mencuci, mengeringkan, dan menjemur pakaian. Oh ya, tempat jemur pakaian ada di lantai 2. Biasanya saya bolak-balik 2- 3 kali hingga semua pakaian terjemur dengan sempurna.

Capek?

Super capek sekali.

Sedih? Mengeluh?

Oh tidak. Saya tadi cuma cerita, dan mudah-mudahan teman-teman punya bayangan, ya?

Saya bahagia saja dengan keranjang cucian yang kali ini meluber karena memang jenis dan bahan pakaian saya yang berbeda dengan sebelumnya. Kebahagiaan ini memang harus dibayar dengan tenaga, waktu dan deterjen :)

Tapi, insyaAllah, semua akan baik-baik saja.

Saya yang malas dan gerah-an ini saja bisa sangat berbahagia setelah berhijrah, meski banyak tantangan. Saya yakin, teman-teman juga pasti bisa, bahkan lebih baik dari saya.

Bismillah.

Tak pernah telat untuk kembali padaNya dan menjadi hamba yang bertakwa <3

Semoga harimu menyenangkan <3

Love,
S

3 komentar:

apik ceritanya, mbak. :-)

ditunggu postingan selanjutnya

Ah, Shei, tidak sia-sia ya kamu pulang kampung karena ngambek? *eh* *siap-siap dikeplak*

Istiqomah selalu, Shei... :)

semoga tetap istiqomah, shei :)

aku pengen jadi ibu rumah tangga, huhuhu #keplakdirisendiri #usahadulu

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More