Sabtu, 10 Januari 2015

Kisah Kami, Dua Tahun Lalu, dan Enam Bulan Kini

"And of His signs is that He created for you from yourselves mates that you may find tranquillity in them; and He placed between you affection and mercy. Indeed in that are signs for a people who give thought." 
(Q.S. Ar-Rum: 21)


“Mas dimana?”

“Di kantor, jadi ke Plaza Festival?”

“Jadi kok, aku udah di sini sama pacarku. Aku tunggu ya,”

Dan telepon pun terputus. Mas Faris sampai di Plaza Festival beberapa jam kemudian, dengan beberapa lembar dokumen dalam satu map, ia kemudian menyodorkan pulpen. “Tanda tangan di sini, sini, dan sini. Maaf gak bisa lama, mau pulang,”.

Aku tersenyum dan menurutinya. Setelah tanda tangan, Mas Faris pulang. Aku dan pacarku lalu karaokean bersama teman-teman. Kami begadang hingga tengah malam. Dengan wajah agak pucat, mungkin kelelahan, Mas Faris menyetop taksi dan pulang menuju kosan. Saat itu, waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, dan Mas Faris masih semangat membantu mengurus Akta Yayasan. Ia begitu baik, tanpa pamrih. Ia selalu mendatangi kami, bahkan hanya untuk sebuah tanda tangan. Kami tak pernah membayarnya. Aku selalu merasa beruntung memiliki dia dalam organisasi.

Beberapa bulan berlalu, setelah Akta Yayasan jadi, aku jarang mendengar kabarnya. Biasanya, kami sering janjian untuk rapat organisasi, jalan-jalan, maupun bersenang-senang. Akhir-akhir ini, ia tampak menghilang. Rindu, mungkin. Karena kami sama-sama di perantauan. Aku dan Mas Faris juga berasal dari kampung halaman yang sama, Jombang, Jawa Timur. Perkenalan beberapa tahun lalu sewaktu SSC memperingati “Hari Anak” menjadi awal mulanya. Kami terkejut, mengetahui berasal dari kampung yang sama. Tapi, ia banyak menghabiskan waktu di Malang, kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang, dan aku tumbuh-besar di Surabaya. Jombang, menjadi kota yang kami rindukan. Sejak saat itu, aku menganggapnya sebagai kakak.

***
“Mas, sehat?”

“Sehat kok. Kenapa Dek?”

“Nggak, kok jarang ada kabar. Nonton yuk..”

“Walah, aku sekarang tinggal di Malang”

Bak disambar petir di siang bolong, aku terkejut. Bagaimana bisa dia pindah tanpa pamit? Padahal, kami begitu dekat, kenapa dia tak cerita? Mas Faris lalu menjelaskan bahwa kepindahannya tanpa pamit memiliki alasan, salah satunya, ia tak ingin berat berpisah dengan teman-teman di organisasi. Aku mencoba mengerti, meski sedih hati. Aku telah kehilangan sosok kakak yang membuatku nyaman. Bahkan, ada banyak hal yang tidak kuceritakan pada sahabat, maupun, pacar, tapi aku merasa nyaman cerita pada Mas Faris. Sosoknya yang teduh dan penuh wibawa, membuatku percaya bahwa dia amanah dan menyenangakan. Melihatnya, seperti melihat kegigihan adikku, dan kelembutan serta ketegasan Bapakku. Aku begitu menghormatinya. Mungkin, memang inilah ciri khas Laki-laki Jombang. Entah mengapa, aku merasa sangat nyaman.

***
Beberapa bulan sejak kepindahan Mas Faris, aku sudah melupakannya. Fokusku ke orang lain beralih ke diri sendiri. Aku memiliki banyak hal yang harus diurus, terutama semenjak putus dengan pacar terakhir. Kami sempat merencanakan untuk menikah, tapi takdir berkata lain. Akhirnya, aku sibuk menata diri kembali. Sedih dan putus asa sempat menghampiri, namun, karena kasih sayang Allah dan kelembutan serta dukungan sahabat-sahabat dekat, aku bisa tegar dan bangkit kembali. Sejak saat itu, aku tak ingin pacaran lagi. Aku memutuskan untuk mencari suami. Meski banyak yang menghampiri, aku bergeming. Aku tidak ingin lagi main-main, kemudian, aku semakin mendekatkan diri pada Illahi, meminta perlindunganNya supaya tak lagi tergoda. Supaya aku semakin matang dan dewasa. Akhirnya, aku meminta salah seorang sahabat terpercaya untuk membimbingku, secara emosional dan spiritual. Aku pun disarankan untuk membuka hati lewat proses taaruf. Beberapa orang sempat singgah dan aku jajaki, namun, ternyata kami belum berjodoh. Berbagai profesi, status sosial, umur dan tingkat ketampanan tidak menjadi tolok ukur. Semuanya kuserahkan pada Allah. Sebelum memutuskan apapun, aku selalu Istikharah. Namun sayang, gagal. Aku tidak juga diyakinkan oleh pilihan-pilihan yang datang.

Sebetulnya, episode hidupku akhir-akhir bukan hanya mencari jodoh, tapi juga menemukan jati diri. Semakin tenggelam dalam rutinitas dan kebisingan Jakarta, semakin kering kerontang hati dan jiwa. Aku merasa tersesat. Aku merasa ada sesuatu yang hilang. Setelah memperbanyak dzikir dan doa-doa, akhirnya aku merasa tenang. Lalu, pada suatu ketika di Bulan Ramadhan, alhamdulillah, aku mendapat hidayah. 

Aku pun hijrah.

Aku hijrah secara spiritual dan sosial. Aku kembali mengenakan hijab, aku juga kembali ke Surabaya. Aku kemudian membatasi diri dari pergaulan-pergaulan seperti sebelumnya. Sedikit demi sedikit, aku mulai meninggalkan kebiasaan lama.

***
“Mas, sehat? Rumah mas dimana sih?”

“Sehat alhamdulillah. Di Perak, dek, kenapa?”

“Main yuk! Aku juga lagi di rumah Mbah,”

Beberapa hari sebelum lebaran, aku dan Mas Faris kembali bertemu di kota kerinduan, Jombang. Sudah lama rasanya aku menginginkan untuk datang ke kota ini. Ngopi sambil makan bakso di alun-alun ditemani lampu temaram. Duduk-duduk merasakan angin malam hingga kepala pusing, kadang juga kehujanan. Ah. Rindu rasanya.

Aku tak mau melewatkan kerinduan ini sendirian, reuni harus terjadi! Aku harus mengajak Mas Faris, teman satu organisasi dan memamerkan kebersamaan kami ke teman-teman di Jakarta supaya bisa ikut menyusul ke Jawa Timur. Malam itu juga, aku mengajak adik dan tanteku ke Alun-alun, aku juga mengajak Mas Faris untuk ketemuan di sana.

“Assalamualaikum, Mas! Alhamdulillah, bisa ketemu.. Aaaa kangen!”

Kami bersalaman, melepas rindu sambil memesan dua cangkir kopi panas. Malam itu, cuaca di Jombang sedang dingin, gerimis juga kadang datang. Tapi kami tetap tak ingin membatalkan jadwal. Rupanya, aku baru sadar, itu adalah kali pertama Mas Faris melihatku mengenakan hijab. Awal mula berhijab, aku memasang foto di Whats App, dan ia berkomentar standar, “cantik,” katanya. Aku sudah biasa dipuji begitu, bukan hal baru. Tapi, setelah malam itu. Pujian darinya begitu berbeda. Pujiannya menggetarkan hatiku. Ada apa sebenarnya?


“Kalau aku mampu, mending aku yang ‘minta’ dedek ke orang tua dedek,”

Awal pembicaraan canggung kami dimulai setelah malam itu. Meski sempat terkena gerimis dan pusing, aku pikir, kali ini pusing di kepalaku berbeda. Perutku juga agak kram. Jantungku berbedar. Lamat-lamat aku mengamati tulisan di layar ponsel dengan gejala yang sama. Aku lalu menanyakan maksudnya. Rupanya, ia ingin melamarku.

APA? IA INGIN MELAMARKU?

SERIUSAN, DIA INGIN MELAMARKU?

“Mas, serius? Becanda ya?”

“Lho, masa yang kayak gini becanda? Ora ilok,”

“Ya Allah!”

Aku kemudian terdiam dalam waktu yang sangat lama.

***
"Nggak mampu gimana, Mas?"

"Ya, aku masih belum punya apa-apa. Hidupku sangat sederhana. Dedek lebih pantas bersanding dengan pria yang lebih mapan,"

Aku bergeming, sambil tersenyum, aku membalas pesan singkatnya.

"InsyaAllah harta bisa dicari, tapi kalau jodoh, anugerah dari langit yang harus dijemput saat ini,"

***

Kecanggungan kami kemudian berlanjut. Setelah pembicaraan lewat ponsel itu, kami memutuskan untuk istikharah bersama. Aku tak ingin terburu nafsu dan mengiyakan atau menolak tanpa meminta petunjuk. Beberapa pertimbangan rasional sudah ada, selanjutnya, tinggal menyerahkan pada Yang Maha Kuasa.

Aku begitu ingat memori lama saat kami selesai rapat kerja di Jakarta. Aku, dan beberapa teman perempuan, ditemani Mas Faris, memutuskan untuk menginap semalam di basecamp, sambil bersih-bersih. Para perempuan tidur di kamar, Mas Faris di ruang tamu beralaskan tikar. Kami begadang sampai tengah malam, lalu kelaparan. Mas Faris terlihat masih tidur. Aku dan teman-teman memutuskan untuk membeli mie goreng di warung depan. Dengan hati-hati, aku membangunkan Mas Faris. Mungkin saja ia juga ingin makan. Rupanya ia terbangun dan hanya memesan teh panas. Kami beranjak menuju warung dan makan sampai kenyang. Sepulang dari warung, kami mendapatinya sedang membaca Al-Quran. Aku begitu terharu. Belum pernah aku bertemu lelaki di Jakarta yang, setelah solat tahajud, kemudian membaca Al-Quran. Sempat aku berbisik ke teman-teman,”Lihatlah, kalau Mas Faris jadi suami, Ia pasti jadi Imam yang baik,”.

***
“Jadi, gimana dek?”

“Aku lapar, mas...”

Proses istikharah kami berdua telah berlangsung, dan baru kemarin malam, ada petunjuk untuk melangkah lebih jauh lagi. Namun, sebelum menjawab pertanyannya, aku minta izin untuk memberi hak pada lambung dulu. Hari itu, kami baru saja menghadiri peringatan setahun SSC Mojokerto. Kami begitu bahagia. Aku, terutama. Bisa melihat semangat teman-teman dalam memberikan pelayanan pendidikan pada sesamanya. Ini menjadi penghangat jiwa dan kemanusiaan. InsyaAllah barokah jika diiringi niat untuk mengabdi di Jalan Allah.

Kami makan ayam penyet.

Aku ingat, dulu waktu di Jakarta, Mas Faris sering sekali dimintai teman-teman untuk membelikan eskrim. Kali ini pun sama. Seperti adik kecilnya, aku meminta dibelikan eskrim. Es itu pun habis sebelum hidangan disajikan.

Dengan wajah tertunduk, sebelum ia menanyakan lagi, aku bercerita soal mimpi di solat istikharahku. Mas Faris tampak tersenyum malu-malu. Ia menatapku lekat-lekat dan bilang, “InsyaAllah aku akan segera melamarmu,”.

Aku pun tersedak lalu mengangguk.

Kami kemudian menghabiskan es jeruk dan bersiap untuk pulang.

"Gimana, Mbak? Sukses?" Tanya sepupuku, Ninis, setelah aku pulang. Aku mengangguk dan memberitahunya kalau kami akan lamaran.
***
Sebulan berlalu sejak Mas Faris menyatakan kesediaannya untuk melamarku. Ia kemudian ke rumah dengan keluarga besarnya. Ini sungguh lucu. Aku menghitung kedatangan Mas Faris ke rumah dalam dua bulan terakhir. Hanya tiga kali. Aku mengingat-ingat kelakuan saat remaja dulu, bolak-balik ke  rumah pacar, bolak-balik jalan berdua, bolak-balik putus cinta. Kali ini, aku akan menikahi orang yang bahkan belum pernah menjadi pacar sebelumnya.

Kedatangan Mas Faris yang pertama, adalah ketika dia mengantarkanku setelah dari Malang, kebetulan aku silaturahim ke teman-teman SSC Malang. Kedatangan Mas Faris yang kedua, adalah ketika Mas menjemputku di stasiun saat tengah malam, setelah aku melancarkan proyek #JadwalKelanaShei keliling dari Mojokerto, Malang, Dieng, Jogja, hingga Singapura dan Malaysia. Kedatangan Mas Faris yang ketiga adalah saat ia ke rumah bersama keluarga besarnya untuk melamarku. Benar-benar waktu yang sangat singkat, dan mulus. Keinginan kami disambut baik keluarga dan InsyaAllah diridhoi Allah. Acara lamaran berjalan lancar, kami pun mempersiapkan pernikahan empat bulan kemudian.
***
“Mas, nggak nyangka ya?”

“Iya ya, dek. Dulu kemana aja ya kita? Udah kenal lama, baru niat nikah sekarang-sekarang,”

“Hihi... Jodoh emang Rahasia Allah, ya mas...”

Aku menghitung, sejak awal kami bertemu kembali dan taaruf, hingga lamaran dan walimahan, ada enam bulan waktu yang terdedikasikan. Sebulan untuk taaruf, sebulan kemudian lamaran, dan empat bulan selanjutnya untuk persiapan walimahan.

Alhamdulillah, hari ini kami akan melangsungkan akad nikah. Resepsi akan dilancarkan sehari setelahnya. Berbagai sanak-famili dan sahabat sudah diundang. Doa-doa dan harapan pun dimunajatkan. InsyaAllah, kami akan menjadi pasangan berbahagia, sakinah, mawadah, warahmah dengan Ridho Allah dan doa teman-teman semuanya.

Subhanallah, Maha Suci Allah beserta segala karunia dan rahmatnya.

Cerita ini pun berakhir dengan bahagia, meski tanpa istana, gaun mewah, dan pangeran kuda putih dengan pedang baja-nya.


Surabaya, 10 Januari 2015


Shei dan Faris Mohon Doa Restu....

2 komentar:

salut sai. jd inspirasi buatku. terima kasih krn aku bisa menjadi salah satu saksi kisah indah kalian

Aku yg makasih syg... Udah dibantu banyak sama kamu. Semoga segera ketemu jodohnya yaaah :*

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More