Rabu, 21 Januari 2015

Tai Kucing Rasa Coklat

Gambar diambil dari sini

Ibarat petuah urban-legend tentang cinta yakni “tai kucing rasa coklat”, begitu pula kami menjalani hari-hari sebagai suami istri. Kalau dulu pernah ilfeel sama gebetan yang melakukan perbuatan tidak senonoh, misal, kentut sembarangan, pasti kita sudah kehilangan hasrat ingin mendekat, kan?

Ini tidak berlaku ketika menjalani kehidupan rumah tangga.

Baik-buruk pasangan sudah seperti mata koin yang menjadi satu kesatuan.

Saya yang ceroboh dan tidak sabaran ini harus bisa diterima apa adanya oleh suami yang penyabar, namun saklek dalam beberapa hal dan suka mengkritik istrinya yang, kalau sedang bad-mood, bakal ngambek, tentunya.

Namun, banyak hal istimewa setiap hari yang menjadi harta-karun tak ternilai dalam memahami pasangan lagi dan lagi. Pembelajaran tentang kehidupan disertai gesekan yang kadang menyulut bara amarah, kadang malah bikin enak #eh, sudah menjadi bumbu rumah tangga.

Yang pasti, bumbu-bumbu ini seharusnya tak mengubah cita rasa menu utama: ketakwaan dalam beribadah. Bukankah, menikah itu menyempurnakan separuh iman?

Jadi, apa yang kita lakukan setiap hari, sebagai suami-istri, sebetulnya memiliki nilai ibadah, kalau niat kita lurus karena Allah.

Sedikit cerita, pernah suatu hari, ketika suami hendak berangkat kerja, sepatunya kena tai kucing. Padahal, ia sedang terburu-buru, karena waktu sudah menunjukkan hampir pukul tujuh. Satu jam lagi ia sudah harus tiba di kantor, belum kalau kena macet.

Mungkin, bagi sebagian orang, insiden kecil begini sudah bikin rusak hari. Bagaimana tidak, sudah terburu-buru kok masih harus bersihin tai kucing yang nempel di sepatu kulit yang awalnya hitam mengkilat karena disemirin istri tiap hari.

Tapi suamiku tidak.

Ia tidak marah. Hanya menunjukkan padaku, lalu dibersihkan sendiri. Kemudian ia menyemirnya, lalu menyeruput teh hingga habis setengah, kemudian pamit kerja seperti biasa.

Sesampainya di kantor, ia mengirimiku pesan sngkat yang mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai dengan selamat, hanya telat 3 menit, dan memberitahu kalau akan menelepon beberapa saat lagi.

Ketika kuangkat teleponnya, ia hanya pamit akan pergi dinas ke Banjarmasin besok, lalu sedikit mengungkit kejadian tadi pagi.

Sebagai istri, sebenarnya aku malu dan merasa lalai karena tidak memeriksa sepatunya terlebih dahulu. Biasanya, setelah membuatkan teh dan menyiapkan bekal, aku menyemir sepatunya. Aku menikmati mengabdikan diri sebagai istri seperti itu, seperti yang dilakukan ibuku. Seperti yang dianjurkan ajaranku. Fitrah istri sebagai pelengkap suami, karena, suami juga punya tanggung jawab lain kepada istrinya. Hubungan timbal balik seperti ini tidak seharusnya dihitung untung-rugi. Tapi, lagi-lagi, sebagai bentuk ketakwaan sesuai perintah agama.

Sebetulnya, aku merasa malu dan jengkel pada diri sendiri. Ini yang menyebabkan aku agak marah (karena denial) ketika suami menunjukkan ada tai kucing di sepatunya.

Apakah aku kemudian tersinggung dan mengira ia menyindirku?

Tidak (awalnya iya).

Aku meminta maaf atas kelalaianku, tentu saja setelah kejadian itu berlalu.

Akibatnya adalah, suamiku malah bilang, kalau insiden itu bukan apa-apa, dan bukan atas kelalaianku. Cuma cobaan kecil di pagi hari supaya sabar (Oh, aku sangat mencintainya). Dan benar saja, ia bisa sabar. Meski ia mengaku, awalnya ia sangat ingin marah, entah ke siapa, karena jengkel dan terburu-buru.

Betapa menyenangkan memiliki partner hidup yang bijak seperti itu. Aku sangat bersyukur.
***
Menjalani rumah tangga, ibarat, menjalani titian jembatan yang harus dilakukan berdua. Jika tidak, keseimbangan akan goyah, kita pun akan terjatuh, dan mati. Pengekangan ego dan toleransi tinggi sudah harus dijalankan sejak hari pertama mengarungi bahtera hidup bersama. Selain itu, niat awal, Lillahi ta’ala, bisa menjadi modal utama jika kelak, ada cek-cok kecil mewarnai keseharian.

Selalu ingat Allah dalam setiap langkah kita berumah tangga.

Kami pun selalu belajar setiap hari, memperbaiki niat berulang kali, dan menyempurnakannya lagi dan lagi, tiada putus.

Apapun yang dilakukan istri kepada suami dan suami kepada istri adalah bentuk ibadah, sedangkan pengingkarannya adalah pengkhianatan tak hanya ke pasangan tapi juga pada Allah.

Jika hal itu menjadi tonggak utama, niscaya, bumbu-bumbu rempah dalam membina rumah tangga benar-benar sebagai penyedap saja, tanpa mengurangi cita rasa menu utama tadi.

Senyumnya istri, ibadah. Berhiasnya istri untuk suami, ibadah. Memasak untuk keluarga, termasuk ibadah. Mengandung, melahirkan, merawat, hingga membesarkan anak, terhitung ibadah juga. Inilah mengapa, menikah memang menyempurnakan separuh iman. Ingat ya, separuh, lho. Bukan hanya sebagian saja. Betul-betul 50%, InsyaAllah. Betapa mulianya pernikahan, betapa mudahnya menegakkan ibadah dan mencintai Allah.

Sudah siap?

6 komentar:

Belum siap, Mbak Shei..

Tapi membaca ceritamu, mbak, mbrabak.. Apa aku juga bisa dapat seorang suami dengan hati selembut itu.. Tanpa marah, dan apa iya aku bisa setegar dirimu yg bertekad menjaga fitrah istri..

Tulisan ini, membuat introspeksi diri banget.

- Mbaak nun.. Pakabar.. Aaak kangen :*
- Hihi, dipersiapkan dg baik yaa.. Smg segera dipertemukan dg jodohnya. Ditunggu ya kisah selanjutnya :"D

abis suami balik dr banjarmasin mau ah baca catetanmu dari sudut pandang suami, kayanya lucu tuh,secara suamimu orangnya kayanya kalem gitu shei,ahahahaha.,.

siap nggak siap itu kalo udah nemu jodohnya bisa tiba-tiba siap aja kok, hehehe

selamat ya shei, mulailah perjalanan baru itu :)

Pernikahan memang menyimpan begitu banyak cerita. :)

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More