Selasa, 10 Juni 2014

Kulkas Kosong




Apakah kau pernah merasa sendirian dan merana?

Aku hampir tiap malam.

Sebetulnya aku tidak takut sendiri, tapi ketika dingin menyergap, dan kulkas kosong lalu perutku lapar... Aku takut aku akan mati.

Aku tidak begitu menakuti kematian. Hanya saja, aku tidak suka membayangkan rohku tercabut dari raga, katanya sih sakit. Aku pernah menanyai Nenek Grasia yang tinggal di seberang jalan, katanya ia pernah mengalami kematian. Ia kini menjalani hidup kedua. Oleh karena itu, ia berganti kelamin. Katanya, “Seharusnya, aku tak dilahirkan sebagai laki-laki, namun, perempuan”. Nama sebenernya adalah Gerson.

Lagian, kenapa takut mati? 

Aku cuma manusia yang kebetulan lahir saja. Ibuku pernah bilang aku ini bayi yang nggak disengaja lahirnya. Menurutku itu baik, menurutnya tidak. Tapi, entahlah. Kalau tidak baik, bagaimana mungkin aku menyukai diriku, kan? 

Hal lain yang kuingat adalah... ada semacam kebotakan berbentuk lingkaran di beberapa jengkal jari setelah jidat. “Kau dulu divakum” cerita Ibuku. Dulu, aku berpikir kalau aku ini adalah debu. Aku lihat di televisi, mereka menyebut penyedot debu sebagai vakum. Ternyata aku manusia. “Ada-ada saja kau ini,” suatu hari ibuku tertawa, dikiranya aku melucu. Padahal aku memang belum tahu perbedaan antara bayi dengan debu. Aku pikir mereka sama, toh, sama-sama di-vakum.

“Bu, apakah yang dilakukan orang-orang di liang lahat?” aku pernah bertanya. Aku ini sangat takut akan gelap. Katanya sih, liang lahat itu gelap.

“Kuburan, maksudmu?”

“Iya...”

“Entahlah, mereka sudah mati. Orang mati mana bisa gerak?” ujarnya sambil menenggak bir dingin. Aku tidak suka baunya. Terutama kalau ibu sudah capek kerja sepanjang malam dan pulang dalam keadaan mabuk. Ia pasti mengira aku ini maling dan mengejarku kesana-kesini sambil memukuli pantatku. Aku sering cemas kalau mendapatinya mabuk. Biasanya di akhir bulan. Ketika gajinya menipis, dan aku harus makan indomi tiap malam. 

“Brengsek ayahmu! Kau mirip dengannya, maling kau pasti. Bajingan!” begitu yang biasa ia katakan. Dan aku akan terjaga sepanjang malam sambil berlarian dan melihat-lihat apakah ibuku akan melukai dirinya sendiri dengan pisau yang ia bawa untuk mengejarku. Setelah capek, biasanya ibu akan tergeletak di lantai dan tidur. Keesokan paginya, aku harus menyiram mukanya dengan air dingin supaya bangun dan mengingatkannya untuk mandi, lalu sarapan (aku pernah mencoba mencipratinya saja, tapi tidak berhasil, jadi aku mulai terbiasa untuk mengguyur seember). Setelah ia bangun dan sarapan, ia akan bergegas kerja shift pagi sebelum lanjut shift malam. Ia hampir tak pernah libur. Makanya, aku juga tak pernah marah meski sering dipukuli ketika ibu mabuk. Ia menyayangiku, kok.

“Dua hari lagi kau ulang tahun, Ibu akan kasih hadiah ya... Sudah ibu siapkan," katanya setelah mendapati dirinya basah kuyup karena guyuran air seember. Sambil mengepel bekas air yang masih merembes hingga ke karpet ruang tamu, aku mengangguk pelan. Aku cuma ingin ketemu ayahku. Tapi Ibu bilang itu tak mungkin, ayahku sudah pergi dan tidak mungkin kembali. Aku pikir ia sudah mati. Tapi ibu menggeleng. Ia bilang ayahku masih hidup, hanya saja tinggal dengan keluarga lain. Ia juga mengingatkanku untuk menggunakan kata “meninggal”, bukan “mati”. Kata “mati” itu cuma buat tikus. Misal, tikus mati di got, atau tikus mati kejepit pintu.

“Nanti kau akan menyesal, lho.... Ibu udah kasih tau, ya...”

“Kalau ayah meninggal, aku lebih senang....” desisku sambil meneruskan mengepel. Ibu tersenyum sambil menggumam kalau kepalanya sakit terantuk lantai. Sepertinya ia tidak ingat kalau terpeleset semalam.
***
“Bu, kau mau apa?”

“Diamlah, demi kebaikanmu” ia meneruskan mengikatkan lilitan kawat, metal, dan kaca melingkari tubuhku. Aku tau itu sebuah bom. Ia ingin kami mati. Kau tau kan? Aku takut mati. Tapi, tidak di hari terik seperti ini, apalagi sedang bersama ibu. Aku sangat menyayanginya. Aku tau ia pun begitu. 

“Sakit tidak?” tanyaku penasaran, sambil tetap diam sampai ibu selesai mengikatku, lalu mengikat dirinya sendiri.

“Enggak” jawabnya singkat.

Menurutnya, bunuh diri menggunakan bom tidak akan sakit. “Aku membacanya di internet,” dengusnya sambil kesulitan melingkarkan kawat ke badannya sendiri. Seharusnya ia tak perlu membawa dua bom sekaligus. Ia harus menyimpan salah satu. Jaga-jaga kalau percobaan bunuh diri pertama kami tidak berhasil. “Ini pasti berhasil, Joe memberitahuku,” jawabnya ketika kutanyai kenapa dia harus repot memasang keduanya pada masing-masing kami.

“Tetangga bakal kena juga, bu?”

“Nggak, radiusnya kecil kok. Lagian kan cuma kita yang ingin mati, bukan mereka,”

“Bagaimana kalau mereka juga ingin mati seperti kita?”

“Nggak mungkin, Ndre... Hidup kita yang merana, bukan mereka” lanjutnya. Sebelum menekan tombol pemicu, ia mendesis, "Selamat ulang tahun, Ndre. Kau tak perlu hidup susah lagi sekarang."

Aku terkesiap oleh dentuman kencang dan hamburan metal, kaca, besi dalam hitungan detik. Aku sedikit sadar sebelum menemukan potongan tanganku dan beberapa cacah daging yang berserak diantaranya.

***

Dua hari sebelum ibu memutuskan untuk mengakhiri hidup kami menggunakan bom, aku sering melihatnya dan laki-laki itu bertengkar. Kali ini hebat sekali, sampai tetangga mengunci rapat-rapat rumah mereka. Tidak ada yang mau berurusan dengan laki-laki itu dan ibuku. Mereka takut. 

Laki-laki itu adalah pacar ibu. Ia sering diantar laki-laki itu sepulang kerja, karena hari terlalu larut. Mungkin, ini hal yang wajar ketika dua orang yang memiliki hubungan spesial saling menjaga. Entahlah. Biasanya, setelah sampai di rumah, mereka ciuman dan tidur di ranjang. Aku memergoki mereka ketika ingin mengambil air minum tengah malam. Sudah kali ketiga aku melihat mereka seperti itu, dan sepertinya, setelah di ranjang, mereka akan berhubungan seksual (aku pernah melihat video seperti itu di ponsel Thomas, tetanggaku, kelas 3 SMP). 

Keesokan paginya, mereka terlihat mesra, aku berangkat ke sekolah dan tidak tahu apa-apa lagi. Aku lupa nama laki-laki itu. Kami tidak mengobrol banyak. Lagian dia kayaknya nggak suka sama aku. Menurutnya aku ini cuma tikus kecil pengganggu. “Kalau nggak ada dia, lebih enak” ujarnya suatu ketika, dan aku tidak peduli. Ibu menyikutnya pelan dan bilang kalau cuma aku yang dia punyai dalam hidupnya yang sangat menyedihkan. “Jual aja nanti kau dapat duit,” dengusnya sambil terseok memakai sepatu kumal warna coklat. Bau anyir menyebar cepat ke seluruh penjuru ruang tamu ketika ia mencopot sepatu itu, hampir tiap malam. Ibu terlihat cemberut dan tidak berkata apa-apa, sambil sesekali melihatku. Aku tersenyum mencoba menenangkannya, aku tidak apa-apa. Aku tidak peduli padanya. Aku cuma peduli pada Ibuku.

Terima kasih ya, Ndre, kau sudah manis sama dia. Dia bosku. Aku punya hutang banyak sama dia,” kata ibuku sembari berbisik. Aku mengangguk dan pamit untuk pergi ke sekolah tanpa sarapan.

Djakarta, 11 Juni 2014

5 komentar:

kak sheiiii sukaakkkkkkkkkkkkk!!

Ehehe senang kalau kamu suka :D

I dunno...I always have mixed feeling kalau baca cerita seperti ini...but nicely done btw..

Baca berkali kali dan nggak bosen . Sumpah, bagus banget ceritanya :)

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More