Selasa, 08 April 2014

Anomali


1
“Aku benci banget deh, sama cowok” dengusnya gusar. Sesekali ia melihat layar ponselnya dan berharap seseorang menghubunginya. Setidaknya, itu yang kulihat pada diriku dulu, ketika pertama kali jatuh cinta.

“Memangnya kenapa sih?” aku mencoba mengajaknya berbicara. Sedari tadi kami hanya berhadapan, dan meminum kopi masing-masing, tanpa membicarakan hal penting. Aku lebih banyak menghitung deretan lukisan yang menggantung di dalam kedai, ia lebih banyak menggumam dan memandangi layar ponsel seakan menunggu undian berhadiah dan membawa pulang mobil tanpa dikenakan pajak, semua orang pasti suka.

“Cowok ini, seenaknya aja, habis nidurin aku, nggak ngasih kabar sama sekali. Kalau aku hamil, gimana? Mana pertanggungjawabannya?”

“Ya tapi kamu kan nggak mungkin hamil”

“Siapa bilang? Kalau Tuhan berkehendak? Aku bisa apa?”

Ia masih terlihat kesal, sembari terus menyesap kopi, tak tampak sedikitpun guratan kepuasan dari mimik wajahnya. Padahal, kopi adalah minuman favorit Rino.

“Aneh kau”

“Biarin. Pokoknya aku sebel sama cowok”

“Lah, kau pun cowok”

“Cowok. Duh, beb. Cowok yang cowok gitu, deh..... Ah, kamu tuh nggak ngerti”

Aku terkekeh, dan menepuk dahinya dengan gemas.

“Coba ceritakan, gimana kau kesal dengannya”

“Apa? Nggak ah. Private. Praaayvet, ngerti. Huh”

“Baiklah”

Aku pura-pura tak peduli. Biasanya, kalau begini, Rino akan mulai menahan nafas. Kesal. Lalu bercerita karena sebenarnya ia juga ingin bercerita, tapi ia akan marah, kenapa aku tak memaksanya dengan sungguh-sungguh. Lalu dia pasti akan mengumpat....

“Dasar perempuan eskimo, gini ya...aku ceritain...”

Benar kan.

“Namanya Toni. Bodinya sekeren Tony Starks, gitu deh”

“Tony Starks, siapa?”

“Yaampun. Ini anak dari kampung mana, sih. Iron Man.”

“Okay”

“Gitu. Aku awalnya nggak ngerti juga kalau dia juga gay. Dia itu pacarnya sahabat temanku. Linda. Kami ketemuan beberapa minggu lalu di salon. Linda sama sahabatku, nyalon, aku cuma maskeran sebentar, lalu menemani Toni menunggui Linda. Sahabatku namanya, Jane. Tapi dia tak terlalu penting. Nah, si Toni ini tiba-tiba mengajakku ngobrol. Lalu, kami tiba-tiba klop aja gitu beb”

“Okay”

“Nah, beberapa hari setelah pertemuan kami di salon itu, Toni mengajakku jalan, dalihnya, mau beliin Linda kado buat annivesary mereka gitu”

“Lalu?”

“Ya gitu beb. Pas di mobil, dia itu ngerangsang-ngerangsang aku. Aku kan kaget! Aku pikir, ini cowok gimana sih, udah punya pacar, lagian......kok tiba-tiba gitu. Aku sebenernya udah naksir sih, sama Toni. Tapi, aku nggak berani, dia kan pacarnya Linda”

Ditengah-tengah tumpahan cerita Rino, tiba-tiba pelayan kedai menyodorkan kentang goreng yang tidak kami pesan. Tapi Rino langsung menerima dan bilang kalau nanti dia yang bayar. Kebetulan, buatku. Ini seperti menonton film bioskop hanya saja tanpa adegan banyak-banyak, hanya monolog. Yasudah, setidaknya aku punya kentang goreng dan kopi. Hidupku sesederhana itu untuk berbahagia.

“Sampai mana tadi?” Rino menyomot kentang goreng dan mencocolkannya pada saus sambal sedikit. Ia tak begitu suka pedas, tapi, sepertinya, ada dosa kolektif jika makan kentang goreng tanpa dicocolkan ke saus. Sepertinya Rino penganut paham itu. Setidaknya, ia bisa minta dibawakan saus tomat saja.

“Kamu dirangsang di mobil”

“Iya gitu, beb. Terus yaudah. Kejadian deh” Rino mengubah mimik antara sedih campur bahagia. Anak itu emang jago main peran.

“Bilang aja suka.... Pake sedih segala,” celetukku sambil melemparkan beberapa kentang ke arahnya. Rino manyun dan mendengus sebal lalu mengambili kentang tadi dan langsung membuangnya ke tempat sampah.

“Suka sih, tapi kan dia pacar orang”

“Lalu, gimana si Linda?”

“Apaan sih, beb. Kok langsung nanyain Linda? Aku dulu kek ditanyain gimana perasaannya”

“Iya, iya, sori. Jadi kamu gimana, beb?” Aku mencoba menirukan logatnya dan seketika membuatku mual. Rino tak kalah muak dengan tingkahku.

“Jangan bikin aku muntahin kentang goreng enak ini, deh, beb. Ya..pokoknya, setelah kejadian itu. Dia nggak menghubung-hubungi aku lagi”

Aku mengangguk. Memetakan kembali tebakanku yang ternyata tepat. Benarlah Rino sedang jatuh cinta. Toni, nama yang dikaguminya.

“Sekarang kamu gimana?”

“Kangen, cemas, merasa bersalah”

“Aku ngerti” aku memeluknya dan mencolekkan sambal sedikit ke hidungnya. Rino mengumpat. “Sabar ya....”

Ia mencolekkan sambal ke hidungku sebagai pembalasan dendam.

Tak lama, ponselnya berdering.

Setengah terkesiap, Rino mengangkatnya, tanpa gairah.

Ia mendadak menghambur keluar kedai, dan menginsyaratkan supaya aku tetap duduk di tempatku. Aku khawatir. Sepertinya ada yang penting, karena, Rino tak biasanya merahasiakan pembicaraan telepon di hadapanku.

Lima menit setelah menerima telepon, Rino mendatangiku dengan muka setengah masam, namun, ia terlihat memaksakan senyum.

“Kenapa?”

“Enggak, nyokap,”

“Oh...”

Aku paham. Kenapa dia agak masam. Biasanya, Ibu Rino ini membincangkan ekspektasi-ekspektasinya pada Rino, mungkin topik itu bukan topik yang tepat saat mood Rino sedang cemas begini.

Rino adalah anak terakhir di keluarganya, dan satu-satunya yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Keluarga Rino begitu membangga-banggakan Rino. Dan seakan bersumpah bahwa Rino ini bisa jadi penyelemat generasi keluarga yang sudah empat turunan melarat. Berkat kegigihan Bapak Rino menjual rongsokan, dan akhirnya punya lapak dagang sendiri, Rino bisa sekolah hingga ke SMA dan melanjutkan perguruan tinggi dengan prestasinya sendiri. Rino memang cerdas. Aku sudah bersahabat dengannya sejak duduk di bangku SMA. Namun, kami tak kuliah di kampus yang sama. Kebetulan aku mendapat beasiswa ke Jakarta, sedangkan Rino masih kuliah di Surabaya. Minggu-minggu ini, aku mudik. Dan tentu saja, aku selalu menyempatkan untuk ketemu dengannya.

“Eh, beb, aku harus pergi nih...”

“Lah? Cepet amat. Besok aku udah balik Jakarta loh....”

“Yah, iya sih...tapi ini nyokap minta jemput,”

“Yaudah nggak papa.....”

Rino lalu membayar semua tagihan kami.

“Thanks, No”

Plasure. Eh mau aku drop?”

“Nggak usah, aku masih mau disini, mau nulis kayaknya”

“Yaudah, take care, beb. Kabari kalau udah di rumah,”

Kemudian ia mencium keningku. Rino orangnya sangat perhatian dan penyayang. 

Siapapun yang dicintanya pasti beruntung.
2
Sebenarnya, kalau bukan karena kampus ini tenar dan jurusanku adalah salah satu tujuan hidup, aku malas tinggal di Jakarta. Kota ini begitu sumpek, panas dan polusinya melebihi ambang wajar, terlalu banyak manusia yang jarang senyum dan makanannya mahal. 

Akhir-akhir ini, selain sibuk dengan diktat kuliah, aku juga disibukkan oleh aneka kegiatan organisasi pers kampus yang bikin aku jatuh sakit, tipes. Ini karena tugas-tugas liputan yang cukup menguras energi dan pikiran. Sebetulnya, aku juga memiliki kondisi fisik yang lemah, jadi paket-paket itu menjadi komplit dan menyerang kekebalan tubuh secara signifikan.

Ngomong-ngomong, aku juga sudah putus kontak dengan Rino. Entah apa kabarnya anak itu. Terakhir dia bilang mau liburan ke Bali dengan Toni, itu sms dia beberapa minggu setelah aku bertolak ke Jakarta dari Surabaya. Sepertinya mereka sudah dekat. Aku ikut bahagia mendengarnya.
3
Aku menampar pipi berkali-kali.

Aku tidak percaya Rino mengirimiku pesan di facebook seperti ini:
Dear Flo. Aku cuma mau bilang, aku sayang banget sama kamu. Makasih udah jadi orang yang mengerti aku dengan segala anomali yang ada pada diriku. Tapi, kamu saja ternyata belum cukup untuk menguatkan aku. Persahabatan kita begitu indah, tapi, maaf, Flo. Aku ternyata tak cukup bahagia menjadi diriku. Orang tuaku tak puas, kakak-kakakku tak puas, teman-teman terdekatku menjauh secara teratur. Mereka sudah tahu kalau aku gay. Padahal, sebelum mereka mencari tahu, aku pun akan coming out, dan memberitahu tentang orientasi seksual aku pada dunia. Aku hanya butuh waktu. Cuma kamu yang menguatkanku. Toni, bahkan dia, tidak. Ia bisa seketika menjadi pacar Linda, dan seketika menjadi pacarku meski itu pun rahasia. Dia juga tak ingin disangkutpautkan denganku. Aku tak memiliki siapa-siapa lagi.Terima kasih, Flo.Aku rasa, hidupku sudah tak terlalu penting lagi. Toh, aku sudah lama dibunuh. Aku sudah lama disuruh mati, tak merasakan kehadiranku dengan keanehan-keanehan yang ada pada diriku. Aku pun bingung, aku pun tidak tahu harus bagaimana. Tapi, yang aku tahu, disini, aku tak bisa menjadi diriku sendiri.Sampai jumpa di langit ke tujuh, Florina. Terima kasih atas persahabatan kita yang sangat indah.
Aku langsung mengambil telepon dan memencet nomor Rino dengan tangan gemetar setengah basah. Aku panik. Aku tak mengerti kenapa Rino mengirimiku pesan seperti itu.

“Halo”

“Iya, Maaf ini Kakaknya Rino, Rinonya...”

“Kak Indra? Ini Flo”

“Oh, Flo. Apa kabar?” Sapanya, lalu ia menangis. Dan menceritakan padaku kalau Rino ditemukan membujur kaku kemarin subuh di kamarnya. Sontak hal ini membuat sekeluarga shock. Ibu Rino pingsan berkali-kali. Dan mereka tidak tahu kalau Rino bunuh diri juga karena mereka. Ia tidak siap dengan penghakiman-penghakiman yang, bahkan, ia sendiri sedang berjuang untuk mengkonfirmasi identitasnya.

Aku ingin sekali terbang ke Surabaya dan memeluk Rino, sembari membisikinya kalau ia tak perlu khawatir. Aku akan selalu disampingnya. Aku mencintainya.

Ia adalah sahabat yang sangat baik dan penyanyang.

Siapapun yang dicintanya pasti beruntung.

Tapi nyatanya, tidak ada yang layak untuk dicintainya.

*Sebuah tulisan untuk mengenang seorang sahabat, semoga damai selalu menyertai keberadaannya yang telah bertemu dengan Pencipta, aku merindukanmu.


Shei Layla, Jakarta, 9 April 2014

6 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More