Jumat, 11 April 2014

Tempat Persembunyian Paling Aman


Langit sedang gelap mendung. Hujan tumpah, seperti air mata dewa yang tangannya teriris kapak oleh kekasihnya. Mungkin, rasa terkhianati lebih menyakitkan dari kehilangan tangannya yang bisa ditumbuhkan lagi. Dewa-dewa memang seperti itu. Ia teramat sakti, namun, karena kadang menjelma menjadi manusia untuk mengawasi umatnya, Dewa sering lupa untuk mengembalikan wujud menjadi Sang Hyang.

Dewa terkadang masih menyimpan sifat-sifat kemanusiaan, memiliki hati, yang seharusnya tidak disertakan ke dalam perwujudan ilahiah.

“Benarkah seperti itu? Darimana kau tau?”

“Aku mengarangnya”

Sore ini, langit gelap mendung. Dan hatiku sangat cemas. Entah apa yang kucemaskan. Mungkin ini efek dari sindrom menstruasi atau semacam itu, aku juga tak pernah percaya. Setauku, menstruasi memang bagian dari perlengkapan reproduksi perempuan, yang, seharusnya, Tuhan ngerti kalau perempuan kadang tidak mood untuk menjalani proses menstruasi.

Seandainya di awal penciptaan perempuan ada formulir opsional untuk proses menstruasi, aku akan mengisinya. Selama setahun, aku setuju untuk melakukan proses menstruasi sebanyak enam kali. Jadi, aku bisa ambil libur tiap dua bulan sekali.

Kau tau nggak gimana rasanya? Rasanya melelahkan! Kami harus berjalan lebih lambat dan mengalami nyeri di sekitar perut, sambil kadang harus mengurangi jajan untuk membeli pembalut. Harganya mahal-mahal sekarang, apalagi yang bergambar hello kitty. Kenapa juga kapas penyumpal darah buangan segala dipercantik dengan gambar kucing jepang begitu, aku nggak ngerti.

“Apa yang kau cemaskan?”

“Aku kan sudah bilang, nggak tau.”

Tapi sebetulnya, aku agak mumet dengan kredit rumah.

Seharusnya memang aku tak usah ambil kredit rumah terlalu cepat. Kata Ibuku, anak muda penting untuk memikirkan masa depan. Aku jawab, apakah itu kematian? Dia bilang aku bodoh, dan terlalu serius dalam menjalani hidup. Lalu ia mengempit dompet ke dalam sempilan payudaranya yang menyembul dari balik kebaya tua. Aku ingat, kebaya itu kubelikan setahun lalu dari gaji pertama. Lalu, ia akan mulai mengoceh tentang menjadi perempuan yang bernilai mahal. Ibuku memang kuno dalam hal berpakaian, tapi, pandangannya begitu kekinian kalau menyangkut soal pernikahan. Sejak umur delapan tahun, aku sudah direncanakan untuk dinikahkan, tapi harus jual mahal, dengan anak juragan kelontong desa sebrang. Saat itu umurnya lima tahun diatasku. Ibu memanipulasi diriku sedemikian rupa sehingga aku terlihat sangat cantik dan bodoh. Padahal aku juara matematika tingkat kecamatan. Tapi, katanya, perempuan pintar itu menakutkan bagi laki-laki. Mereka akan merasa minder dan menggebuki istrinya yang pintar karena selalu mengoceh pagi, siang, malam. Kalau tidak seperti itu, perempuan pintar akan dijauhi dan akhirnya tak dapat pasangan dan menjadi perawan tua. Tentunya itu akan menjadi aib keluarga. Makanya, aku tak boleh terlalu pintar dan harus menjaga penampilan.

Tak lama, ibuku berhasil juga meyakinkan calon besannya bahwa aku memang gadis bodoh yang sangat cantik, dan bisa menyusui anak dengan baik melalui payudaraku yang penuh dan sintal. Ibuku selalu membanggakan bawaan fisikku yang tentu saja merupakan warisan genetik darinya.

Meski ibu bodoh, tapi tubuh ibu adalah tubuh yang diidamkan baik laki-laki dan perempuan, kau harus mensyukuri itu.

Kalau sudah bilang begitu, aku sebetulnya bersyukur pernah memiliki ayah yang rajin dan selalu mengajariku sehingga aku mengerti hitung-hitungan dan ilmu tentang bumi. Sayang, ayahku pergi mengejar perempuan lain. Kami pun ditinggalkan.

“Ibumu menarik ya?”

“Iya. Dia bodoh, ambisius, tapi sangat cantik. Orang-orang memanggilnya Mbok Rondho Wangi, artinya Janda Wangi”

“Hush, nggak boleh ngomong gitu. Lalu kenapa kau tak jadi menikah?”

“Cowok itu gantung diri. Dia udah naksir cewek lain, katanya”

“Menyedihkan sekali, ya, kalian ini. Korban orang tua.”

“Tidak. Aku yang menyedihkan. Dia sudah mati. Dia sudah bebas”

Bertahun-tahun kami dirudung malu karena gagal menggelar resepsi. Kami? Maksudku, ibuku. Aku malah senang. Usiaku saat itu baru dua belas tahun. Aku lebih tertarik pada penemuan bintang jatuh di sudut Amerika nun jauh di sana. Aku penasaran. Kenapa bintang bisa jatuh, ya? Lalu temanku bilang, mungkin tidurnya kurang ke tengah. Dan itu nggak lucu sama sekali. Sejak komentarnya yang begitu bodoh itu, aku tak mau main bareng dengannya.

“Jadi itukah yang kau cemaskan?”

“Entahlah, mungkin juga”

“Toh ibumu sudah tiada, kau tak perlu cemas apa-apa lagi, kan?”

Memang benar. Aku sebatang kara sekarang. Aku pun menjadi mengerti, kenapa ibuku sangat ngotot menjodohkanku, ia mengerti bahwa, kehadirannya tak lama lagi di dunia ini. Ia menderita kanker rahim. Tapi, aku juga nggak begitu paham, bisa jadi karena dia takut aku hidup sebatang kara, atau dia takut tidak ada yang mengurusi warisan dari kakek. Jangan sampai harta pindah tangan ke keluarga ayahku, maksudnya.

Aku tidak begitu peduli dengan harta.

Aku lebih peduli kenapa aurora borealis tidak ada di Indonesia.

Aku begitu jatuh cinta pada gejala alam dan studi-studinya.

“Lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini?”

“Aku mau pinjam payung. Kemungkinan hari akan hujan”

Aku akan menikmati waktu senggang dengan membaca jurnal-jurnal ilmiah lalu menuliskannya kembali ke blog pribadiku. 

Cuma itu duniaku. 

Dan aku bahagia.


3 komentar:

Perempuan cerdas yang selalu menggalipengetahuan apapun bentuknya menjadi peremuan tak biasa dalam masyarakat kita....maka, seringkali para perempuan tak biasa ini kerap harus sembunyi di balik keperempuanan bentukan (harapan) orang banyak yang budayanya besar dan berakar pada sistem nilai patriarki yang sejatinya malah memperkosa citra perempuan dan dilekatkan pada citra paksaan dambaan: cantik-bodoh-(+harus ramah)...dan cerpen ini, MENGOBRAK-ABRIK persembunyian itu! KEREN!

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Woww, interpretasinyaa...keren banget!
Thankyou for stopping by and commenting on my blog my beautiful reader hihih....


Lov,
Shei

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More