Rabu, 09 April 2014

Nyanyian Angin (Bagian Satu)


1
Apakah kau tau? 

Ah. Pasti kau tak tau.

Aku kasih tau, ya.

Angin.

Kau tau angin?

Haha. Bukan. Bukan angin dari perutmu itu.

Ini aku lagi mau cerita tentang angin, kau tau? Yang biasa berembus sepoi-sepoi mengenai wajahmu yang kisut kena terik, dan menjadikannya segar kembali seperti tanaman kesiram air.

Bagus tidak?

Tapi ini rahasia, ya?

Sebetulnya angin adalah melodi alam.

Kau tau?

Ah. Pasti kau tak tau.

Makanya, ini aku kasih tau.

“Hei, kau! Jangan banyak bicara, ayo kerja!”

Oke. Besok aku lanjutkan lagi ceritanya, ya.
2
Kemarin sampai mana ceritanya?

Oya, sampai aku menjelaskan tentang angin itu melodi alam.

Iya. Angin itu adalah nyanyian.

Sebetulnya, ia bernyanyi, dan cuma kulitmu yang bisa mendengarnya.

Kau tau kan? Itu yang bikin kulitmu segar kembali.

Bagus tidak?

Nyanyiannya beragam dan ia punya klasifikasi dalam bernyanyi sesuai dengan pendengarnya.

Klasifikasi ini berdasarkan jumlah kulit-kulit yang bersedia untuk mendengar.

Pasti kau tak tahu kalau kulitmu itu ganjen, ya?

Haha. Iya, mereka haus nyanyian.

Kalau kulit orang Indonesia, sih.... Biasanya mereka suka nyanyian mini dengan tingkat suara tennor.

Aku kasih tau, ya.

Kalian kan suka ngatain bule, ya?

Nah, bule-bule ini lebih suka nyanyian sopran.

Hihi, mereka emang aneh. Padahal, nyanyian sopran ini biasanya mendekati badai.

Ngomong-ngomong tentang badai, itu sebetulnya bukan bagian dari angin seperti kami.

Di negri angin sendiri, badai dan topan termasuk aliran pembelot. Seperti kalau di negrimu itu orang-orang ‘kiri’, ya? Hihi.... Nah, di negri angin ini, merekalah angin-angin ‘kiri’. Tapi, sebetulnya aku kurang setuju, sih. Aku juga suka membaca. Dan, menurutku, aliran ‘kiri’ itu memberontak terhadap kemapanan sistem yang tidak adil. Bukan semata-mata berbuat kerusakan. Gitu nggak, sih? Nah, kalau badai dan topan ini, mereka emang sengaja banget berbuat kerusakan. Nggak salah juga, sih. Mereka emang ditugaskan seperti itu. Apa boleh buat, namanya juga kerjaan, ya kan?

Beberapa waktu lalu, aku mendengar berita.

Banyak orang menyalahkan kami karena Topan Haiyan, di Filipina.

Sumpah. Itu bukan angin-angin seperti kami, itu si pembelot. Mereka sebetulnya sedang melakukan rencana untuk memperburuk citra angin di mata manusia. Dan ini membuat kami semua sedih. Kami tak pernah ingin berbuat jahat pada manusia, justru kami ingin menolong mereka. Tapi, badai dan topan bersekongkol untuk berbuat kerusakan, dan akhirnya, manusia akan marah dan tak sudi lagi mendengarkan nyanyian kami.

“Bu, kalau misal manusia tak lagi butuh nyanyian kita, bagaimana?”

“Kita akan berubah menjadi debu, nak”

Begitulah.

Dalam satu tahun, setidaknya, kami harus bernyanyi sebanyak dua ratus kali dan berkeliling selama enam bulan tanpa pulang ke rumah untuk menyelesaikan tugas. Kadang juga harus menggantikan tugas kawan lain yang sudah menjadi debu karena tak berhasil mengumpulkan poin tersebut. Itu membuat kami harus bekerja keras.

Penduduk di negri angin saat ini kian terkikis.

Banyak diantara kami yang sudah menjadi debu, karena tak banyak lagi orang yang mau mendengarkan dan menikmati nyanyian angin.

Inilah masa-masa yang diharapkan oleh badai dan topan untuk mengambil-alih kerajaan dan memimpin dengan tirani.

Ramalan Kingtone mengatakan, dua ratus abad lagi, angin-angin akan punah dan dunia ini akan menuju kehancuran karena badai dan topan membentuk kesatuan untuk memimpin dengan tiran, dan menghancurkan dunia dengan amukan.
(bersambung)



0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More