Senin, 07 April 2014

Layang-Layang Warna Biru


Layang-layangku putus.

Ah. Andai saja aku punya dia. Pasti aku bisa minta uang beberapa kali pun. Tapi ini apa? Aku harus menjualkan layang-layang milik Robi dulu baru dapat bagian sekian persen untuk membeli layang-layang baru. Aku benci dia.

“Lisa! Cepat kemari kau, brengsek!”

Sial. Kalau aku tak butuh persenan dari penjualan layang-layang darinya, aku sudah menghajar mukanya yang kayak tikus itu.

“Sebentar, aku menggulung benang dulu”

“Kemari sekarang atau kutendang bokongmu!”

Aku menghampirinya sambil tetap menggulung benang. Layang-layang putus dan benangku tersendat. Sungguh hari yang buruk.

“Kau tau anak di Gang Lima? Namanya Hengki. Dia tadi meneleponku minta 3 layang-layang ini, kau kasihlah ke dia sekarang. Nanti kukasih satu untukmu, yang paling jelek” ujarnya sambil mengelap ingus. Aku menerima layang-layang itu namun sebisa mungkin tak menyentuh tangan bekas mengelap ingusnya itu. Aku malas tertular penyakit dari anak tikus macam dia.

“Tumben kau baik?”

“Pergi sekarang atau aku berubah pikiran”

Aku berjalan menjauh dari Robi menuju ke Gang Lima. Disini tak ada yang namanya Gang Kelinci, entah kenapa juga aku membahas hal itu. Gang di pemukiman ini berdasarkan angka. Satu, dua, tiga, hingga sepuluh. Ada sekitar 400 kepala keluarga yang tinggal di “Pemukiman Tiga Belas” ini. Entah kenapa namanya seaneh itu. Aku nggak peduli. Aku pun tinggal disini karena terpaksa, ikut ibuku. Karena Ayahku entah kemana. Ibuku membesarkanku seorang diri, dan kebetulan, setelah nenek meninggal, ia dapat warisan. Dibelilah tanah disini. Sedikit demi sedikit, tanah kami dipasangi beton, batu kali, semen, lalu kerangka-kerangka besi. Bagaimana aku tau? Aku juga ikut membangun rumah kami. Meski aku kurus kerempeng begini, aku masih kuat mengangkat dua ember adukan semen dan mengantarnya pada pak tukang, sehinga kami tak perlu membayar kuli bangunan lagi. Cukup seorang dan aku. Waktu kami membangun rumah, hari sangat cerah, bulan April. Ibuku bekerja, sementara aku membangun rumah. Sebenarnya agak menyedihkan juga, ya. Anak-anak sepertiku di bulan April sibuk membangun rumah, bukannya main layang-layang. Aku merasa aneh. Tapi biarlah, toh sekarang rumah sudah jadi, setelah tiga tahun lamanya kami mencicil membangun rumah. Dan akhirnya, aku juga bisa main layang-layang di bulan April.

“Hengki?”

“Kenapa kau tau namaku? Oh. Itukah layang-layangku? Wooooow! Cantik-cantik sekali..aih! Makasih loh, ya, manis. Aku suka sekali. Pasti kau pesuruh Robi, ya? Ah sialan bocah itu, pesuruhnya manis sekali. Mau nggak kapan-kapan kita main PS bareng?”

“Maaf, aku sedang sibuk. Ini lima ribu rupiah semuanya”

“Baiklah, kukasih enam ribu, ya, manis. Kau pasti haus. Sana beli es”

“Thanks”

Menjijikkan sekali. Hengki. Kenapa dia memanggil-manggilku manis. Penghinaan. Padahal rambutku sudah cepak begini. Aku nggak suka dipuji manis atau cantik. Lagian, anak itu kan sudah SMA, kenapa masih main layang-layang.

“Nih, Lima Ribu”

“Gimana dia? Menjijikkan ya? Maksudku, bencong, gitu ya? Hahahaha”

“Iya”

“Yasudah sana kau pergi, kalau nanti aku butuh bantuanmu, kupanggil lagi. Nih!”

Robi melemparkanku sebuah layang-layang warna biru. Cantik sekali. Aku sudah nggak sabar untuk segera memainkannya.

“Thanks” kataku lagi, Robi sudah menjauh menaiki sepeda gunungnya yang dibelinya dengan uang sendiri. Sebenarnya anak itu pekerja keras, tapi menyebalkan. Umurnya tiga tahun diatasku. Kami dulu sekolah bareng, tapi ia dipindahkan karena ternyata ia terkena gangguan mental, entah apa namanya. Ibuku sudah tau itu, dan mencoba memberitahukan ke orang tua Robi, tapi malah dimaki-maki sundal. Robi akhirnya pindah sekolah setelah mendapat pemeriksaan dari psikolog atau semacamnya itu, aku juga tau dari gosip Tante Firna. Dan ia prihatin kenapa ibuku dikatai sundal, padahal, dia sendiri yang bilang begitu. Aku tak mengerti dunia orang dewasa, begitu penuh kebencian dan ketidakjujuran.

Tapi,

Layang-layangku ini cantik sekali.

Aku sampai lupa ini sudah jam lima. Aku harus pulang. Aku harus memasak nasi karena ibuku sebentar lagi membawakan kami lauk untuk makan malam.

Jam lima sore adalah waktu yang aku tunggu-tunggu, selain jam tujuh pagi. Karena itu adalah jam makan. Aku tak dapat jatah makan siang, tapi tak apa. Toh, ibuku juga lagi kerja di pabrik. Ia tak dapat mengunjungiku kalau siang. Jam kerjanya selesai pukul lima sore. Aku biasa kerja sampingan untuk membeli makan siang. Seperti, kerja pada Robi jual layang-layang, atau pergi ke warung Bibi Mariam untuk mencuci piring. Aku biasa diupah lima ribu rupiah setelah mencuci piring sebanyak 30 buah. Aku suka menghitung piring-piring yang kucuci, karena, menurutku mereka menjadi cantik dan bersih.

“Jadi, gimana harimu, sayang?”

“Bu, berhentilah memanggilku sayang. Nggak lucu.”

“Haha, baiklah, Lis, gimana? Ngapain aja hari ini?”

“Main layang-layang”

“Kenapa tak sekolah?”

“Aku tak mau, mereka membicarakanmu, membicarakan kita, mereka menagih, nggak kira-kira”

“Gimana nggak kira-kira, sayang? Eh, Lis?”

“Membicarakanmu? Sundal. Membicarakan kita? Anak haram, Ibu Sundal. Nagih nggak kira-kira? Masa disuruh bayar uang sekolah lima bulan langsung lunas, uang darimana, Bu? Sudahlah, tak penting. Aku kerja di Bibi Mariam aja, bisa kok buat hidup kita berdua, Bu”

Ibu tampak senyum mendengarku mengeluh. Sebenarnya aku tak ingin membuat harinya yang berat menjadi semakin berat. Aku pernah mengantarkannya makan siang suatu hari, setelah bekerja mencuci piring dengan upah lebih banyak tiga kali lipat. Aku melihat ibu sama sekali tak berhenti menggoyangkan kaki dan tangannya sembari tetap duduk di depan mesin jahit, hampir tidak beristirahat selama delapan jam. Untuk solat dan makan siang saja, ia harus mengemis-ngemis dulu, kataya waktu itu.  Ketika aku muncul dan membawakannya bekal, ia tampak bahagia sekali dan memelukku sambil mengusap kepalaku dan segera menyuruhku pulang sebelum dilihat Pak Mandor. Orangnya galak, katanya, dan nggak suka anak-anak.
“Aku buatin teh, ya. Ibu kali ini mau manis apa tetap tawar?”

“Manis aja, ibu mau mandi lalu minum teh buatanmu, Lis. Nanti kita omongin lagi masalah ini ya. Ibu akan pikirin. Oya, Lis. Ibu tadi beliin kamu ini”

Aku mendelik melihat dua buah kutang kecil yang disodorkannya kepadaku.

“IBU! APA INI??!!”

Ia tertawa dan beringsut ke kamar mandi.

“Kau harus pakai mulai besok. Ini perintah, sayang. Tidak ada tapi-tapian lagi. Demi kebaikanmu”

Aku pikir, aku akan memainkan layang-layang warna biruku dengan kutang kecil itu, mulai besok pagi.


Sial.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More